Senin, 29 Maret 2010

Falsafah Insya Allah

Oleh Zaprulkhan MSI Dosen STAIN Abdurrahman Siddik

Ketika Anda jatuh dalam kegagalan dan melesetnya janji yang Anda ikrarkan tanpa membawa nama Tuhan, masih mending jika Anda hanya mengalami kerugian seperti Nashruddin

NARUDDIN terkenal sebagai orang yang jenius, cerdas, ahli dalam strategi permainan hidup, dan mempunyai perhitungan yang jitu. Pada suatu hari dia berkata kepada istri tercinta akan pergi membajak sawahnya yang berada di dekat sungai dan segera pulang siang hari.

Istrinya yang merupakan wanita salihah, menasihati suaminya supaya tidak takabbur, “Kanda, ucapkanlah insya Allah jika engkau merencanakan sesuatu,”. Karena begitu percaya dengan kecerdasan dan perhitungannya yang selalu tepat, Nashruddin menjadi khilaf, “Apakah Allah menghendaki rencanaku atau tidak, itulah rencanaku”.

Ketika sedang asyik membajak sawah, tiba-tiba hujan turun dengan deras sekali. Air sungai meluap serta menghanyutkan keledai Nashruddin.

Sementara kerbaunya kendati tidak ikut hanyut oleh gelombang air sungai, namun salah satu kaki kerbau itu patah karena terseret arus air dan terbentur bebatuan. Nashruddin dengan terpaksa membajak sawahnya sendirian tanpa bergairah sama sekali.

Seharian penuh dia bekerja dengan penuh keletihan, namun hanya sepertiga bagian sawahnya yang dapat ia bajak. Ketika senja sudah tiba, ia bersiap-siap untuk pulang, ternyata baru tengah malam air sungai reda sehingga Nashruddin bisa pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup sekujur tubuh dan menggigil kedinginan.

Akhirnya dengan sangat letih dan tertatih-tatih Nashruddin sampai juga ke rumahnya. Ketika sampai di depan rumah dengan tenaga penghabisan ia mengetuk pintu. “Siapakah di sana?”, tanya istrinya dengan gelisah. “Insya Allah, aku adalah Nashruddin, suamimu”, jawabnya dengan acuh tak acuh.

Kisah kecil ini bukan hanya menjadi bunga tawa, tapi juga menjadi bahan untuk merajut makna. Apakah Anda pernah mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh Nashruddin? Apakah Anda pernah bersandar pada perhitungan logika statistik pengetahuan Anda terhadap realita dan melupakan perhitungan Tuhan yang tak kasat mata? Pernahkah Anda berulang kali mengejar rencana Anda dengan berpijak pada seluruh kecerdasan otak, kehebatan strategi, dan kekuatan fisik Anda sambil mengabaikan hukum-hukum ketuhanan? Dan selalu berhasilkah Anda dalam setiap kebijakan yang Anda targetkan, tanpa mengucapkan insya Allah, jika Allah menghendaki?
Anda tidak perlu memberi jawaban terhadap pertanyaan ini, baik secara negatif maupun positif. Karena hampir dapat dipastikan

setiap kita tentu pernah mengalami realitas tersebut. Entah ketika akan melakukan kegiatan yang sangat penting apalagi mengerjakan sesuatu yang sepele, kita tentu saja pernah hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri dan mengesampingkan kebijaksanaan Tuhan.

Kalau begitu apakah kira-kira yang menyebabkan kita begitu sering melalaikan kekuasaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dalam menggapai cita-cita dan impian yang kita dambakan? Mari kita eksplorasi tiga argumentasi analisis-deskriptip untuk menjawab persoalan ini.

Pertama, faktor kekuatan, baik kekuatan fikiran, intelektual, maupun finansial. Karena uang Anda banyak, Anda pergi ke swalayan untuk memastikan dapat membeli sesuatu yang Anda inginkan.

Tapi entah kenapa tiba-tiba di tengah jalan, Anda kecopetan. Uang Anda ludes dan Anda gagal mendapatkan barang impian Anda. Dengan kekuatan fisikal dan kejeniusan nalar yang Anda miliki, Anda targetkan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, namun ternyata sasaran Anda meleset. Semua kekuatan ini tanpa Anda sadari telah menimbulkan kepongahan dalam diri Anda dan menafikan kekuatan Tuhan.

Kedua, faktor rutinitas. Betapa seringnya keseringan menjebak orang terjebak dalam lingkaran kelalaian terhadap Tuhan Sang Pencipta kebiasaan itu sendiri.

Kebiasaan Anda bangun jam lima subuh, sarapan pagi pukul tujuh, makan siang hari jam dua belas tepat dan kemudian ke tempat pembaringan malam hari pada jam sepuluh malam menyebabkan nama Tuhan tak terlintas sedikit pun dalam benak Anda. Padahal tahukah Anda, bila setiap kesibukan yang melalaikan Anda kepada Allah, tidak pernah keluar dari lingkaran kesibukan-Nya? Sadarkah Anda bahwa semua yang ada di kolong langit dan di bumi ini selalu meminta kepada-Nya, sehingga setiap waktu Dia dalam kesibukan? (QS Ar-Rahman :29).

Ketiga, faktor lemahnya kesadaran transendental. Satu di antara kelemahan manusia yang paling dominan adalah ketidakmampuannya dalam melihat cara kerja Tuhan, invisible hand, di tengah-tengah kehidupan mereka.

Padahal segenap semesta berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tak terkecuali diri Anda. Simak
firman-Nya, “Tidak ada satu makhluk pun yang melata kecuali Dia memegang ubun-ubunnya” (QS Huud: 56).

Gagasan implikatifnya begini: setiap tindakan yang belum Anda jalani, di sana ada semesta rahasia Ilahi bagi Anda.

Segala rencana yang sudah pasti dalam benak Anda, sesungguhnya mengandung sejuta ketidakpastian di dalamnya. Setiap jengkal langkah kaki yang belum Anda lalui, selalu ada unsur enigmatic dan unpredictable-nya, penuh teka-teki dan tidak dapat diramalkan secara pasti. Bahkan dalam setiap tarikan nafas Anda, menyimpan noktah-noktah keajaiban hidup dan misteri takdir Anda.

Pada tatanan inilah, ketika Anda jatuh dalam kegagalan dan melesetnya janji yang Anda ikrarkan tanpa membawa nama Tuhan, masih mending jika Anda hanya mengalami kerugian seperti Nashruddin yang kehilangan keledainya, kerbaunya patah kaki dan kelaparan sampai malam hari.

Tapi bagaimana jika Anda kehilangan harga diri di depan keluarga, dan masyarakat Anda? Bagaimana seandainya kepercayaan dan reputasi Anda jatuh di hadapan para karyawan dan orang-orang kepercayaan Anda, bahkan dihadapan dunia? Karena itu, bersikap rendah hatilah pada setiap kegiatan yang akan Anda tunaikan.

Sadarilah kelemahan, kekurangan, dan ketidakberdayaan Anda serta akuilah kekuatan, kesempurnaan, dan keperkasaan Allah. Alangkah bijaknya jika dalam setiap dimensi kehidupan yang akan Anda lalui, Anda senantiasa bersandar kepada Allah dengan melafazkan sekaligus menyakini kalimat: Insya Allah, jika Allah menghendaki. (*)

bangkapos.cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar