Senin, 29 Maret 2010

Ketika Agama Menjadi Sumber Bencana

Oleh: Zaprulkhan MSI, Dosen STAIN Syaikh Abdurahman Siddik

Dalam setiap jantung agama terdapat sumber-sumber autentik yang bisa memberikan kontribusi secara positif bagi pembangunan masyarakat dunia
JUDUL artikel di atas terinspirasi oleh karya pakar perbandingan Agama di Universitas Wake Forest, Charles Kimball yang berjudul When Religion Become Evil.

Meskipun judul buku tersebut sangat provokatif, namun Kimball tidak menyalahkan satu agama pun sebagai sumber kekerasan atau kejahatan. Kimball bahkan mengakui bahwa secara intrinsik setiap agama merupakan sumber pembawa kedamaian, kebajikan, toleransi, kerja sama, dan cinta kasih antar sesama umat manusia di bawah payung besar yang bernama kemanusiaan dan ketuhanan.

Namun secara historis-sosiologis, Kimball melihat pula bahwa doktrin-doktrin agama yang bersifat kudus dan sakral seringkali disalahpahami dan dibajak demi kepentingan orang-orang yang picik dalam memandang agama.

Setiap agama yang sejatinya berwajah sejuk dan damai, justru menjelma menjadi kebencian, permusuhan, kekerasan, dan peperangan. Kalau demikian, kapankah wajah agama yang sejuk dan damai menjelma menjadi permusuhan dan kekerasan? Dengan meminjam istilah Kimball secara langsung, kapankah agama berubah menjadi jahat (become evil)? Mari kita renungkan lima faktor yang bisa menyebabkan agama berubah menjadi bencana di tengah-tengah isu kekerasan, pelecehan, bahkan terorisme atas nama spiritualitas atau agama yang sedang melanda bangsa kita hari ini.

Pertama, bila penganut suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan membawa klaim tersebut kepada penganut-penganut agama lain dan menafikan kebenaran yang terkandung dalam agama lain. Tentu saja setiap pemeluk agama boleh mengklaim kebenaran mutlak agama mereka masing-masing. Namun kebenaran mutlak ini tidak boleh dibawa keluar terhadap penganut lain, sebab klaim ini akan mengakibatkan clash, benturan antar setiap penganut agama.

Menyikapi hal tersebut, sebagian cendekiawan merumuskan sebuah konsep yang disebut relativisme eksternal. Yakni setiap pemeluk agama secara personal dan dalam komunitas agamanya masing-masing boleh mengklaim kebenaran absolut agama mereka.

Tetapi klaim absolut ini tidak boleh diterapkan keluar ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain. Dengan kata lain, relativisme eksternal merupakan salah satu strategi kerukunan antar umat beragama dimana secara internal kita bebas mengumbar klaim absolutisme agama, namun dalam kelompok agama lain kita merelatifkan pandangan tersebut agar tidak terjadi bentrokan.

Kedua, kepatuhan buta terhadap pemimpin keagamaan. Setiap agama memang memiliki pemimpin keagamaan yang menjadi pembimbing sekaligus teladan masyarakat kebanyakan yang tidak memiliki wawasan yang cukup tentang agamanya.

Namun agama yang benar-benar autentik selalu menganjurkan untuk menggunakan intelek dan kebebasan setiap pemeluknya dalam menjalankan agamanya. Sebab dalam dunia kontemporer, banyak terjadi kasus kepatuhan buta kepada pemimpin agama yang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan.

Bunuh diri massal yang dilakukan 914 orang pengikut gerakan keagamaan Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Amerika Utara, Gerakan Aum Shinrikyo yang menebarkan senjata kimia beracun yang mematikan di bawah pimpinan Asahara Shoko di Jepang pada tahun 1995, dan gerakan keagamaan David Koresh yang mengesahkan hubungan seksual dengan semua wanita pengikutnya di bawah komando Vernon Howell pada tahun 1990-an, merupakan segelintir contoh tentang kepatuhan buta kepada pemimpin agama yang membuahkan tindakan tragis.

Dengan alasan ini, Kimball memperingatkan supaya berhati-hati terhadap gerakan agama yang bertentangan dengan akal sehat dan menuntut para pengikutnya untuk melakukan ketaatan buta terhadap para pemimpin karismatik mereka.

Ketiga, mendambakan zaman ideal dan bertekad merealisasikan zaman keemasan tersebut ke dalam konteks hari ini. Setiap agama memang mengajarkan sebuah idealisme bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok mesti lebih baik daripada hari ini.

Konsep ini merupakan kerinduan tentang sesuatu yang ideal dan mesti diperjuangkan terus menerus tanpa henti. Namun ketika visi tentang zaman ideal ini diimplementasikan dalam bentuk praktik-praktik komunal yang paling benar dan menyalahkan praktik-praktik yang ada selama ini, maka bencana tampaknya tinggal menunggu waktu.

Idealisme itu biasanya mendorong para penganut agama untuk mendirikan sebuah negara agama atau negara teokratis. Contoh konkritnya, rezim Taliban di Afganistan yang kejam terhadap warganya sendiri demi ketaatan terhadap syariat Islam, atau ide negara Yahudi seperti dicetuskan Rabi Mei Kahane yang konsekuensinya harus mengusir warga Arab dari daerah Judea dan Samaria.

Dalam The Power of Now, Eckhart Tolle melukiskan idealisme semu ini dengan indah: This is a chilling example of how belief in a future heaven creates a present hell; sebuah contoh yang mengerikan betapa keyakinan terhadap suatu surga di masa depan justru menciptakan neraka di masa kini.

Keempat dan terakhir, jika pemeluk agama telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diyakininya dan perang suci atas nama agama diikrarkan, saat itulah agama menjadi bencana.

Dalam era kalsik, kita bisa menemukan contoh tragis ini ketika Paus Urban II menyerukan ekspedisi pada tahun 1095-1099 M yang kemudian dikenal dengan perang salib pertama sehingga terjadi pembantaian 40.000 kaum Yahudi dan Muslim secara biadab atas nama agama. Dalam konteks awal milenium ketiga ini, kita juga bisa menemukan terorisme modern dalam tragedi 11 September 2001, yang memakan begitu banyak korban tak bersalah.

Salah satu solusinya menurut Kimball, para penganut agama perlu menoleh kepada pengalaman Mahatma Gandhi yang mampu memimpin suatu revolusi nirkekerasan melawan kekuasaan kolonial Inggris.

Gandhi mempunyai tujuan yang jelas dan sesuai dengan ajaran agamanya. Namun dalam merealisasikan tujuan tersebut, ia tidak pernah menafikan kelompok manapun. Ia malah mengajak kelompok lain untuk membantu kelompoknya dalam mengejar tujuannya yang mulia. Dengan demikian, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana dan memutlakan sarana menjadi tujuan dengan mengorbankan pihak lain.

Melihat semua fenomena di atas, bagaimanapun juga dalam setiap jantung agama terdapat sumber-sumber autentik yang bisa memberikan kontribusi secara positif bagi pembangunan masyarakat dunia. Karena itulah, agama perlu terus menggali tradisinya dan menemukan kebijaksanaan yang mampu mengusahakan kedamaian dan rekonsiliasi, bukannya perang dan permusuhan.

Akhirnya kearifan itu harus disemaikan bukan hanya dalam koteks kemanusiaan yang bersifat lokal, melainkan dalam konteks global dan plural. Sehingga agama bukan sebagai bencana tetapi tetap menjadi sumber mata air kedamaian universal umat manusia. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar