Senin, 29 Maret 2010

Substansi Makna Takwa

Oleh: Zaprulkhan MSI, Dosen STAIN Bangka Belitung

Substansi makna takwa itu secara global mempunyai dua dimensi: dimensi pertama berkaitan dengan kehidupan duniawi dan dimensi kedua berkaitan dengan kehidupan ukhrawi.

DALAM terminologi agama kita, barangkali tidak ada istilah yang lebih akrab bagi kebanyakan kita ketimbang istilah takwa. Namun boleh jadi pemahaman kita tentang takwa kurang tepat atau tidak lengkap. Kata ‘takwa’ secara etimologis berasal dari bahasa Arab; waqo-yaqi-wiqoyah yang berarti menjaga, memelihara, atau menghindar dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan. Perintah untuk bertakwa ini dalam Al-Quran terulang sebanyak 69 kali.

Perintah ini umumnya terhadap Allah dan ada juga perintah bertakwa dari api neraka serta hari pembalasan. Menurut sebagian mufasir, perintah kepada Allah dengan redaksi ittaqullah, dimana antara kata ittaqu dan Allah harus disisipi kata siksa atau sanksi dan kata-kata yang semakna dengannya sehingga perintah bertakwa kepada Allah berarti perintah untuk berlindung dari siksa-Nya atau sanksi-sanksi hukum-Nya.

Dalam perspektif Muhammad Abduh, siksa atau sanksi Allah ada dua macam yaitu siksa di dunia dan siksa di akhirat. Siksa di dunia terjadi akibat pelanggaran terhadap segala hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan, termasuk hukum-hukum alam (sunnatullah) dan kemasyarakatan yang sudah ditentukan-Nya. Sementara siksa di akhirat kelak sebagai akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat-Nya secara luas termasuk ketentuan-ketentuan ritual praktis.

Ketika seseorang tidak mengindahkan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan di dunia ini, pasti konsekuensi logisnya ia akan mendapat sanksi duniawi. Orang yang terlalu banyak makan atau makan makanan kotor, ia akan sakit. Orang yang malas atau tidak mau bekerja padahal dia mampu, maka ia akan hidup miskin. Orang yang malas belajar, padahal pintu pelajaran terbuka, maka ia akan menjadi bodoh. Sejauh mana pelanggarannya, sejauh itu pula sanksi Allah akan diberikan. Semakin besar dan luas pelanggaran yang dilakukan, maka semakin besar dan luas sanksi yang akan diterimanya. Sebuah bangsa yang masyarakatnya mayoritas malas belajar, tidak giat bekerja dan tidak kreatif, akibatnya pasti bangsa itu akan menjadi bangsa yang bodoh, miskin, dan terbelakang.

Sakit, bodoh, miskin, dan terbelakang ini merupakan sanksi-sanksi Allah yang bersifat duniawi karena pelanggaran terhadap hukum-hukum-Nya yang bersifat duniawi pula. Dan sanksi yang bersifat duniawi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kualitas keimanan atau ibadah ritual seseorang. Seorang Muslim boleh jadi rajin salat lima waktu, bahkan rajin tahajud, tapi kalau malas belajar, ia akan tetap bodoh. Seorang Muslim mungkin rajin puasa sunnah dan menjalankan ibadah ritual lainnya, namun bila tidak giat bekerja, ia tidak akan kaya-raya, dan tetap menjadi orang miskin. Ada juga orang yang ingin meraih kesuksesan duniawi dengan rajin berdoa dan menjauhi maksiat, tetapi tidak berusaha mengikuti jalan-jalan sunnah kausalitas-Nya dan rute-rute duniawi yang mengantarkan menuju kesuksesan, maka konsekuensinya ia akan gagal.

Sebaliknya contoh ekstremnya, jika seorang ahli maksiat tapi rajin belajar, ia akan menjadi orang pintar. Walaupun dia orang zalim, tapi jika giat bekerja, tekun, dan kreatif, tentu saja akan menjadi orang yang kaya raya. Bahkan meskipun sebuah bangsa yang “kafir” namun jika semangat mereka tinggi, kerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif, pasti bangsa itu akan mengalami kemajuan dan sukses.

Jadi keliru jika ada orang yang mengatakan, “Saya sudah rajin salat, kok belum kaya raya juga. Sementara mereka, orang-orang yang tidak pernah salat, ngaji, dan puasa kok kaya, rezeki mengalir terus dan lancar.” Karena persoalannya, tidak ada korelasi positif antara kaya dan salat. Untuk meraih kekayaan, jalannya adalah dengan giat bekerja, tekun, disiplin, dan tidak putus asa. Syarat-syarat inilah yang akan membuahkan kekayaan, sedangkan salat itu buahnya kedamaian jiwa, pencerahan spiritual, keberkahan hidup, dan pahala yang akan didapat di akhirat kelak.

Sehingga substansi makna takwa itu secara global mempunyai dua dimensi: dimensi pertama berkaitan dengan kehidupan duniawi dan dimensi kedua berkaitan dengan kehidupan ukhrawi. Orang-orang zalim, ahli maksiat, dan “kafir” yang hidupnya senang, makmur, kaya, dan menikmati kemajuan dalam bidang sains dan teknologi misalnya, karena mereka sudah melaksanakan dimensi syarat-syarat takwa yang pertama; Mereka telah selaras mengikuti sunnatullah, hukum-hukum kausalitas yang sudah Allah titahkan di dunia yang tidak bisa di ubah.

Keniscayaan hukum-hukum Allah ini ditegaskan dalam Al-Quran sampai diulang dua kali; “Maka sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan perubahan bagi sunnah Allah dan engkaupun tidak akan pernah mendapatkan penyimpangan pada sunnah Allah itu “ (QS. Faathir: 43).

Dua dimensi takwa ini analog dengan makna sifat Allah dalam Asmaul Husna yaitu sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahmim Allah. Dalam pengamatan Quraish Shihab, makna sifat Rahman adalah rahmat Allah yang sempurna kepada seluruh mahluk dan manusia tanpa memandang keyakinannya dan bersifat sementara di dunia ini menurut ukuran duniawi. Sedangkan makna sifat Rahim adalah rahmat Allah yang akan diberikan di akhirat kelak menurut norma-norma ukhrowi, yakni dengan memandang kepada keyakinan orangnya.

Dengan kata lain, sifat Rahman merupakan kasih Tuhan yang dapat diraih dengan ilmu pengetahuan seseorang (ilmu pengetahuan secara luas). Sedangkan sifat Rahim merupakan kasih Tuhan yang dapat diraih dengan keimanan seseorang. Di sini, ada korelasi positif antara sifat Rahim dengan keimanan dan sifat Rahman dengan pengetahuan. Sebab jika iman memberikan pedoman-pedoman normatif yang bersifat transendental kepada Tuhan sebagai Ar-Rahim, maka ilmu pengetahuan memberikan kecakapan-kecakapan operatif yang bersifat diskursif-rasional kepada alam semesta sehingga akan mendatangkan kasih Tuhan sebagai Ar-Rahman.

Dengan berbagai alasan ini, maka tidak berlebihan jika Allah dalam Al-Quran menegaskan bahwa Dia akan memuliakan golongan manusia yang menggabungkan iman dan ilmu di atas golongan lain. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujaadilah: 11).

Karena itu pesan moralnya, seorang Muslim sejati harus mengamalkan kedua dimensi takwa tersebut agar meraih kebahagiaan duniawi sekaligus ukhrawi, sebab iman memberi kita landasan ideologis-transendental yang kukuh dan ilmu pengetahuan melengkapi kita dengan kecakapan teknis-operasional yang tangguh.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar