Senin, 29 Maret 2010

Metode Belajar untuk Mahasiswa

Metode Belajar untuk Mahasiswa

Usaha besar akan berhasil dengan baik bila disertai rencana dan strategi yang matang. Demikian juga studi di perguruan tinggi.Lalai dalam hal ini bisa fatal akibatnya. Banyak mahasiswa gagal, dan lebih banyak lagi tidak mencapai hasil maksimal karena tidak tahu cara belajar yang baik.Buku kecil ini menggariskan metode belajar yang efektif dan efisien untuk mahasiswa yang ingin meraih prestasi maksimal dalam pendidikan tingginya.

Antara lain dipaparkan cara yang sudah terbukti ampuh untuk mengikuti kuliah, menjalankan studi mandiri, mempersiapkan ujian, teknik membaca dan menyiasati ujian, kiat menulis karangan ilmiah, dan memanfaatkan teknologi informasi.Buku kecil ini akan memberi kontribusi luar biasa bila Anda tidak ingin mengakhiri masa studi di perguruan tinggi dengan kekecewaan yang akan Anda bawa sepanjang hayat Anda.

Panorama Filsafat Modern

Panorama Filsafat Modern

Inilah buku yang menyajikan sepuluh esei berbobot dari beberapa tema aktual filsafat modern abad ke-20. Diulas di dalamnya krisis humanisme, hubungan filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan, masalah agama dan bahasa religius, serta dimensi historis kemanusiaan. Pengarangnya mengajak pembaca untuk melihat tema-tema tersebut dari pelbagai aspek filsafat modern, seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, humanisme, fenomenologi, psikoanalisis, filsafat analitis, dan eksistensialisme.

Jadilah buku ini semacam panorama, yang bisa dinikmati dengan sesuka hati, mengalir dengan santai dari satu tema ke tema lainnya. Pembaca diajak untuk memandang tema-tema tersebut secara selektif, sesuai kepentingan dan keinginan.

Buku ini merupakan bacaan yang bermanfaat bagi mereka yang ingin memperluas terus-menerus pandangan dan visi tentang dunia modern.

Prof. Dr. K. Bertens dilahirkan di Belanda tahun 1936. Belajar filsafat dan teologi di Belanda. Melanjutkan studi filsafat di Universitas Leuven, Belgia. Pada tahun 1968 meraih gelar doktor dengan sebuah disertasi tentang Nicolas Malebranche, seorang filsuf Prancis abad ke-17. Sejak 1968 mengajar filsafat di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia.

K. Bertens sejak 1983 menjadi staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta, dan mengajar etika di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran di universitas yang sama. Menulis beberapa buku filsafat dan etika yang banyak dipakai di perguruan tinggi di Indonesia, antara lain Sejarah Filsafat Yunani, Ringkasan Sejarah Filsafat, Etika, Filsafat Barat Kontemporer, Membahas Kasus Etika Kedokteran, Pengantar Etika Bisnis, Metode Belajar untuk Mahasiswa. Selain itu, juga menerjemahkan dan mengedit beberapa karangan Freud dalam Psikoanalisis Sigmund Freud.

Prespektif Etika Baru

Prespektif Etika Baru

Begitu banyak masalah pelik masih berlangsung melanda bangsa ini, mulai dari masalah sosial politik, pendidikan, sampai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap masalah tersebut sarat dengan persoalan etis yang bahkan tidak disadari membutakan mata kita dan menciptakan wacana dalam pikiran kita bahwa yang terjadi itu baik-baik saja.

Namun kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Banyak persoalan yang justru luput dari pertimbangan etis dan moral. Buku Perspektif Etika Baru menyoroti masalah-masalah aktual tersebut dari kacamata etika dengan sentuhan analisis yang mengedepankan prinsip-prinsip moral. Upaya penulis memetakan persoalan etis dari berbagai masalah aktual yang dihimpunnya membantu kita untuk melihat dengan jelas hal-hal etis dan tidak etis yang berada di balik setiap masalah.

Diharapkan buku ini bisa menggugah dan mengasah pandangan krisis kita terhadap berbagai persoalan yang berserakan di sekitar kita.

Setelah Revolusi Tak Ada Lagi

Setelah Revolusi Tak Ada Lagi  (Revised)

"Goenawan Mohamad pada tempat pertama adalah penyair. Esai-esainya bukanlah traktat yang sistematis, tetapi gabungan orisinil antara persepsi dan erudisi. Pemikirannya bahkan cenderung anti-sistematis, merangsang bukan meneguhkan, melempar pertanyaan bukan memberi pegangan, mendorong pencarian tanpa menjanjiakan penemuan. Esai – esainya adalah realisasi kebebasan dengan seluruh risikonya." - Ignas Kleden

"Goenawan Mohamad telah menegakkan suatu tradisi tersendiri dalam khazanah penulisan kita. Esai-esainya adalah ikhtiar untuk “mempertahankan sastra dari wabah bahasa resmi dan kesenian dari bahaya menjadi poster".”– Nirwan Dewanto

Goenawan Mohamad adalah orang Barat yang lahir di Batang. Ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe, Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat.

Dalam buku ini, yang menghimpun tulisan-tulisannya selama 33 tahun, ia juga membicarakan Pramoedya, Kayam, Nurcholish Madjid, Soedjatmoko, Ketib Anom, Putu Wijaya, Saini K.M., Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardojo, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, Sjahrir. Semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara. Ia memanfaatkan mereka sebagai mikrofon untuk bertanya, bukan menjawab. Ia menjadikan mereka kendaraan untuk mencari, bukan menemukan. Esais terbaik Indonesia ini merasa lebih penting mencari dengan bertanya daripada menemukan dengan menjawab.

Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan & Kemanusiaan

Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan & Kemanusiaan

"Sebagai guru bangsa, Prof. A. Syafii Maarif menyajikan argumen yang begitu kuat dan komprehensif tentang pentingnya mengembangkan keislaman di tanah air dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Tahniah atas masterpiece ini." —Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Islam lahir dan berkembang sepenuhnya dalam darah dan daging sejarah, tidak dalam kevakuman budaya. Sebagai agama-sejarah, Islam telah, sedang, dan akan terus bergumul dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Tujuan Islam adalah mengarahkan perubahan itu agar tidak tergelincir dari jalan lurus kenabian, dari jalan keadilan. Namun, sering kali Islam diasingkan dari persentuhan dengan fakta budaya dan sosial. Akibatnya, Islam menjadi ahistoris dan gamang menghadapi perubahan dan gagal mengemban misinya menuntun peradaban.

Buku ini memuat gagasan reflektif dari seorang cendekiawan Muslim dan guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif. Refleksi ini lahir dari keprihatinan bahwa umat Islam, sebagai penduduk mayoritas Nusantara, semestinya tidak lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif.

Inilah tantangan sekaligus peluang yang coba dijawab buku ini. Jika keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan telah senafas dalam jiwa, pikiran, dan tindakan umat Muslim Indonesia, Islam Indonesia akan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat, yang memberikan keadilan, keamanan, dan perlindungan kepada semua pendudu k Nusantara. Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin dan menolak kemiskinan sehingga berhasil dihalau dari negeri ini.

Di tengah keringnya karya cendekiawan Muslim yang menawarkan kesegaran wacana dan solusi, buku ini tampil menawarkan pemikiran yang utuh, mendalam, kreatif, dan berpijak pada pemahaman sejarah yang kokoh tentang isu-isu penting yang menentukan identitas Muslim Indonesia. Sebuah masterpiece yang harus dibaca siapa pun—dari agama, etnis, maupun pandangan politik mana pun—yang menaruh kepedulian terhadap masa depan bangsa Indonesia.

“Saya sarankan kepada Mendiknasagar karya Ahmad Syafii Maarif ini dijadikan buku wajib di sekolah, setidaknya sampai tingkat SMA. Karya ini tidak konvensional. Sangat penting bagi keindonesiaan.” —Dr. Anhar Gonggong, Sejarawan LIPI

Titik-Titik Kisar di Perjalananku

Buku ini merekam “perantauan” seorang insan Minangkabau, putra Indonesia, dan intelektual Muslim. Bukan hanya perantauan lahiriah, tetapi perantauan intelektual dan spiritual. Tanpa henti berusaha melintasi batas-batas, mencoba merengkuh cita-cita “alam terkembang menjadi guru”. Batas-batas itu bisa berupa geografi ataupun fanatisme mazhab yang menghalangi manusia mengembangkan dirinya dan mewujudkan potensinya.

Titik-Titik Kisar di Perjalananku

Inilah perjalanan hidup Ahmad Syafii Maarif. Dengan bahasa khas, ia menelusuri kembali jejak-jejak perjalanannya melalui berbagai “titik kisar”. Masa kecil di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Hari-hari menuntut ilmu di Yogyakarta hingga Chicago. Perjalanannya bersama Muhammadiyah hingga mendapat amanah menakhkodai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu mengarungi masa reformasi yang penuh gejolak. Langkahnya tak berhenti di situ. Buya Syafii berusaha menembus sekat-sekat di antara umat manusia, merengkuh semua golongan untuk bersama mewujudkan nilai pluralisme, kebersamaan, dan semangat saling memahami.

Autobiografi ini mengajarkan kesederhanaan hidup, konsistensi, independensi,moralitas adiluhung dan pergumulan panjang pencarian kebenaran.Buya Syafii bukan hanya milik Muhammadiyah dan umat Islam; dia adalah milik bangsa. —Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah

Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta: Sebuah Trilogi

Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta: Sebuah  Trilogi

Kumpulan puisi ini merupakan ungkapan Emha mengenai berbagai keterlibatannya dalam wilayah lapangan hidup manusia: dari pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan politik kerakyatan, perindu demokrasi dan egalitarianisme, kegembiraan hidup bersama, dan situasi saling membenci di antara manusia.

Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki

Kiai Bejo,  Kiai Untung, Kiai Hoki

Apa yang ingin disampaikan Cak Nun melalui bukunya ini? Sebagai budayawan sekaligus pekerja sosial, Cak Nun ingin memberikan kado cinta kepada sesama manusia, sesama hamba Allah, dan sesama Bangsa Indonesia. Kado cinta akan menghapuskan nuansa kebencian, menyingkirkan prasangka dan fitnah. Dengan kado cinta memberikan pencerahan, silaturahmi, kemesraan budaya, empati masyarakat, peneguhan nasionalisme.

Jejak Tinju Pak Kiai

Jejak Tinju Pak Kiai

Apa yang menjadi sorotan Emha Ainun Nadjib melalui bukunya ini? Emha menuliskan kegelisahannya soal reog, batik, lagu Rasa Sayange yang diakui sebagai kebudayaan Malaysia. Bagaimana kita menyikapi hal ini? Tidak hanya itu saja--Emha yang sangat peduli dengan rakyat kecil--gelisah dengan musibah Pasar Turi di Surabaya, gelisah dengan nasib TKI di Malaysia, gelisah dengan masalah lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Bahkan kegelisahannya bertambah soal Pilkada yang cenderung kisruh di berbagai daerah. Serta tulisan lain seperti Austranesia, Pecel Suriname, Buto Kempung, Tanah Halal Air Halal, Mudik Keluarga Mudik Bangsa.

Seluruh tulisannya ini akhirnya bermuara bagaimana perlunya bersikap arif dan melatih kesabaran, perlunya menjadi makhluk wajib yang berguna bagi sesama, meninggalkan kesombongan, fanatisme yang berlebihan, serta mencanangkan rasa nasionalisme.

Demokrasi La Roiba Fih

Demokrasi La Roiba Fih

"Demokrasi itu harga mati.
Demokrasi itu kebenaran sejati.
Demokrasi itu la roiba fi h, tak ada keraguan padanya."

Dengan pandangan yang jernih, Cak Nun mengulas masalah demokrasi dinegeri kita. Demokrasi itu bak ”perawan”, yang merdeka dan memerdekakan. Watak utama demokrasi adalah ”mempersilakan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan, atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama ”si perawan” yang bernama demokrasi, bahkan berhak memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si perawan itu sendiri, melainkan ”sahabat”-nya yang bernama moral dan hukum.

Di mata Cak Nun, berbagai persoalan apa saja menjadi sangat menarik. Dengan rasa nasionalisme yang tinggi mengulas masalah pemilihan presiden, golput, paguyuban ahli surga, bahkan menyentil negeri kita layaknya Gatotkaca gagah perkasa tetapi menderita sakit lupus. Dan yang tak kalah penting, bagaimana soal Islam Indonesia yang bersikap ”look up” kepada Timur Tengah, sementara Timur Tengah cenderung ”look down” kepada Islam Indonesia. Bagaimana sikap kita terhadap masalah ini?

Seluruh tulisan Cak Nun memberikan ketenangan batin, mencerahkan hati dan pikiran kita. Memberikan jalan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap berbagai persoalan di negeri kita atau mengenai negara lain.

Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan

Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Hard cover, Edisi baru,  2008)

Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang pemikir-Muslim modernis atau, lebih tepat, neomodernis—menggunakan peristilahan yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan. Di segi lain, sebagai pendukung neomodernisme, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks nasional—dalam hal ini, keindonesiaan.

Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan ini—di tengah berbagai pembahasan atas tokoh ini—adalah buku pertama yang menampilkan secara lengkap pikiran-pikiran “tangan pertama” Nurcholish Madjid, lewat tulisan-tulisannya sendiri mengenai soal-soal di atas. Meliputi rentang waktu tak kurang dari dua dasawarsa, antologi ini memuat pula pikiran-pikirannya tentang sekularisasi, plus tinjauan-tinjauan kembalinya atas “heboh intelektual” yang disulutnya itu—tak kurang dari lima belas tahun setelah itu.

“Setiap pembaru, di mana pun di muka bumi ini, hampir pasti selalu dilawan, dicaci-maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas cendekiawan Indonesia Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan, sebuah sumbangan berharga tinggi telah diberikannya kepada bangsa ini.”

—Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua PP Muhammadiyah

Pustaka Filsafat 12 TOKOH ETIKA ABAD KE-20

Pustaka Filsafat 12 TOKOH ETIKA ABAD KE-20

Abad ke-20 ditandai dengan penyamarataan "budaya MacWorld" dan hasrat komunitas-komunitas lokal untuk mewujudkan identitas khas antara kekuatan-kekuatan pemersatu globalisasi di satu pihak dan konflik semakin banyak pandangan hidup, religius, moral, ideologis yang tidak mau bersatu di pihak lain. Etika abad ke-20 tidak terlepas dari suasana konflik ini. Dalam kemajemukan posisi dan metodenya yang saling mengabaikan segala keyakinan atau visi inti yang mempersatukan tampak sudah hancur. Buku ini memperkenalkan pemikiran 12 tokoh etika abad ke-20 untuk menunjukkan adanya kemajemukan. Sasaran: pembaca yang tertarik untuk memahami 'drama' perjuangan intelektual di belakang kejadian-kejadian dramatis abad ke-20.

Pustaka Filsafat ETIKA DASAR, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral

Pustaka Filsafat ETIKA DASAR, Masalah-Masalah Pokok Filsafat  Moral

Buku ini berbicara tentang masalah-masalah pokok filsafat moral dewasa ini, seperti: apa kebebasan dan apa kaitannya dengan tanggung jawab? Apakah suara hati itu, dan dapatkah suara hati itu dipertanggung jawabkan? Keputusan moral yang bagaimanakah yang memadai? Buku ini bukan sekedar buku kuliah, tetapi diharap dapat memberi manfaat lebih banyak, yakni membentuk pribadi yang mampu mengambil sikap pada setiap situasi.

Pustaka Filsafat 13 MODEL PENDEKATAN ETIKA, Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche

Pustaka Filsafat 13 MODEL PENDEKATAN ETIKA, Bunga Rampai Teks-Teks   Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche

Untuk mendalami pemikiran para tokoh filsafat, Anda semestinya tidak akan puas hanya membaca 'tentang' para tokoh filsafat. Buku ini akan membantu Anda lebih mengenal para tokoh filsafat melalui tulisan-tulisan yang dibuat dengan gaya dan nada yang khas dari masing-masing tokoh. Dalam buku ini Anda akan dapat membaca teks-teks terpenting dari 13 tokoh terbesar etika mulai dari Plato sampai dengan Friedrich Nietzsche.

MENCARI MAKNA KEBANGSAAN

MENCARI MAKNA KEBANGSAAN

Mencari makna kebangsaan dari masyarakat pluralitik Indonesia tentu saja tidak mudah. Perlu usaha lebih keras untuk menghindari kesalahan pendekatan, kesediaan untuk belajar dari pengalaman, tekad untuk tetap terbuka, serta mau menerima semua warga masyarakat sebagai warga negara yang sama hak dan kewajibannya. Franz Magnis-Suseno yang dikenal berpemikiran tajam dan to the point, menanggapi pelbagai masalah yang pernah aktual (dan kini tetap aktual), yang menyentuh berbagai sendi kehidupan bangsa, seperti agama, hukum, sosial budaya, politik, etika, HAM, dan lain sebagainya. Meskipun ketiga puluh delapan karangan ditulis dalam situasi konkret tertentu, namun tetap merupakan sumbangan berharga untuk berefleksi dalam usaha kita bersama mencari makna dan pesan kebangsaan Indonesia dalam situasi yang memprihatinkan. Dengan membaca buku ini diharapkan dapat merangsang pikiran, refleksi, keprihatinan, dan tekad pembaca berhadapan dengan masalah-masalah bangsa.

Filsafat Sebagai Ilmu Kritis

Filsafat Sebagai Ilmu Kritis

Berisi lima belas karangan, semuanya terfokus pada filsafat yang kritis. Dimulai dengan membahas filsafat dan etika dalam kaitannya dengan ideologi dan politik, kemudia dilanjutkan dengan pendeskripsian sifat kritis para filsuf besar hingga mereka mampu mengubah dunia.

Menalar Tuhan - Filsafat Berhadapan dengan Tuhan

Menalar Tuhan - Filsafat Berhadapan dengan Tuhan

Menalar Tuhan, itulah yang sejak permulaannya menjadi obsesi filsafat. Menggapai Tuhan melalui pikiran menjadi hasrat tertinggi filsafat sampai 200 tahun lalu. Di permulaan abad 21, pertanyaan tentang Tuhan masih tetap berada di pusat pemikiran para filsuf. Buku ini ditulis bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan juga bagi mereka yang tidak lagi percaya kepada Tuhan. Isinya bukan mengenai agama, melainkan mengenai Tuhan. Buku ini tidak mau "membuktikan" adanya Tuhan, melainkan menunjukkan bahwa di abad 21 pun manusia tetap dapat percaya kepada Tuhan tanpa harus menyangkal kejujuran intelektualnya.


Resensi

oleh: Theodorus Egep Henakin

Manusia akan selalu berpikir dan terus berpikir tentang keberadaan Tuhan. Apakah Tuhan hadir atau tidak?. Keingintahuan manusia tidak akan pernah terbatas meskipun segala pengetahuan akan terbatas. Menalar Tuhan merupakan buku kajian filsafat yang menuliskan tentang berbagai macam sudut pandang tentang keberadaan Tuhan. Buku ini tidak mau membuktikan adanya Tuhan atau tidak melainkan bahwa manusia harus tetap dapat percaya kepada tuhan tanpa harus menyangkal dengan kemampuan intelektual yang dimilki oleh manusia. Buku ini berisi tentang hubungan antara Tuhan dengan manusia sampai sejauh mana. Isi buku ini juga menunjukkan bagaimana pandangan aliran-aliran agama yang mencoba untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan. Banyak pandangan yang disampaikan tentang keberadaan Tuhan misalnya ateisme, deisme, monoteisme, skeptisisme, politeism, dualisme, monisme, panteisme dan sebagainya. Buku ini juga berisi tentang bagaimana manusia bisa sampai ke jalan Tuhan misalnya bagaimana manusia berindak menggunakan hati nurani, suara hati. Dalam dunia fisafat, buku ini membantu mereka yang ingin belajar untuk memahami Tuhan secara lebih mendalam. Buku ini ditulis oleh guru besar oleh romo Franz Magnis- Suseno SJ. Beliau adalah seorang guru besar Filsafat di Sekolah Tingi Filsafat Driyakara. Buku ini tentang filsafat di mana Tuhan menjadi objeknya. Franz Magnis-Suseno SJ bermaksud mengajak kita sebagai manusia modern untuk mempertanggunjawabkan iman yang kita anut secara rasional. Buku ini ditulis bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan juga bagi mereka yang tidak lagi percaya kepada Tuhan. Hal itu sangat menarik sekali karena kita sebagai manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan iman kita sampai sejauh mana bisa mempertahankannya.. Bahasa yang digunakan buku ini memang cukup berat dan sulit untuk dipahami. Buku ini sangat cocok bagi mereka yang ingin belajar filsafat ketuhanan terutama bagi kaum religius. Buku ini kurang cocok jika dibaca oleh para pelajar yang masih berusia dibawah 17 tahun atau yang belum mampu untuk memahami isi buku ini.. Pada kenyataannya jika kita ingin membaca buku ini, kita harus membutuhkan konsentrasi yang kuat sehingga bisa memahami isi dari buku ini. Sebagai manusia yang ingin terus berkembang hendaknya kita tetap percaya akan kebesaran Tuhan dimana kita bertindak. Tuhan pun akan menunjukkan kebesarannya dimana kita percaya pada kuasa-Nya. Tuhan akan selalu menyertai manusia di mana manusia membutuhkan kehadiran-Nya. Tuhan mempunyai rencana pada diri manusia masing-masing, hendaknya manusia mampu mengolahnya.

Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme

Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan  Revisionisme

Dalam buku ini Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, seorang ahli filsafat sosial, menjelaskan pokok-pokok pikiran Karl Marx secara obyektif dan kritis. Setelah mengemukakan bentuk-bentuk sosialisme "utopis" yang mendahului Marx, ia kemudian menelusuri perkembangan dalam pemikiran Marx: dari paham Marx muda tentang peran filsafat kritis dan keterasingan manusia sampai terbentuknya teori tentang hukum-hukum yang mendasari perubahan masyarakat dan kritik terhadap kapitalisme. Selanjutnya ia juga menggariskan kembali bagaimana ajaran Marx manjadi "Marxisme", ideologi perjuangan kaum buruh, serta memperkenalkan aliran-aliran terpenting dalam Marxisme.

Kuasa dan Moral

Kuasa dan Moral

Sebagai filosof sosial dan ahli etika pilitik, Franz Magnis-Suseno memaparkan dengan gamblang, bahwa setiap usaha untuk memisahkan kekuasaan dan moralitas akan menggerogoti dan kekuasaan itu dari dalam. Kekuasaan akan stabil kalau sah secara moral. Di tengah politik uang dan politik teror, buku ini bagai cermmin yang memantulkan ironi-ironi wajah bopeng kekuasaan, yang menggugah kesadaran kita untuk selalu kritis terhadap kekuasaan politik yang mengitari hidup kita.

Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern

Etika Politik  Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern

Dalam delapan belas bab buku ini Dr. Franz Magnis-Suseno membahas masalah-masalah metode, legitimasi, hukum dan negara, positivisme hukum, hak asasi manusia dan kebebasan suara hati, wewenang nagara dan batas-batasnya, demokrasi, tanggung jawab sosial negara, hal ideologi, bersamaan dengan fikiran tokoh-tokoh filsafat politik seperti Aquinas, Hobbes, Locke, Rousseau, Hegel, dan Marx. Buku ini akan membantu Anda memahami masalah-masalah ideologis secara kritis berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa

Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup  Jawa

Etika Jawa mencerminkan nilai-nilai manusiawi, yang pantas menjadi salah satu pedoman alternatif menghadapi tantangan modernisasi. sebuah corak etika Barat, karena memiliki gambaran yang khas tentang manusia, pribadi, masyarakat, serta alam semesta. Buku ini merupakan bacaaan yang sangat memebantu Anda, baik yang berasal dari Jawa maupun bukan, untuk memahami tingkah laku, kebijaksanaan, dan cita-cita orang Jawa.

Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles

Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles

Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak, menjadi cita-cita kita, manusia. Di kiri kanan kita menjumpai manusia-manusia yang bengkok, miring, berat sebelah, aneh, setengah lumpuh. Dan tidak utuh. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita tahu bahwa kita sendiri terancam oleh kemiringan itu, bahwa kita sendiri sering lumpuh secara fisik atau jiwani, bahwa hidup kita jauh di bawah kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi kita. Kita tidak utuh.

Aristoteles persis menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh. Barangkali kita ragu apakah seorang pemikir yang hidup lebih dari 2300 tahun lalu masih dapat menunjukkan suatu jalan bagi kita, manusia abad ke-21. Tetapi Aristoteles, bersama Plato, sampai hari ini menjadi acuan pemikiran para filosof.

Buku kecil ini memperkenalkan pemikiran Aristoteles, khususnya dalam bidang moralitas dalam bahasa yang tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Kedua, etika Aristoteles di zaman sekarang pun amat bermanfaat bagi kita. Aristoteles menulis etikanya agar mereka yang membacanya dapat membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia.

Dan itu dicapai dengan memperlihatkan bagaimana manusia dapat mengembangkan diri, dapat membuat potensi-potensinya menjadi nyata, dan bagaimana karena itu ia menjadi pribadi kuat. Menjadi pribadi kuat berarti berhasil dalam kehidupan sebagai manusia. Itulah yang membuat kita bahagia dan itulah yang mau ditunjuk oleh Aristoteles.

Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial

Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial

Prediksi para ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik, budaya, ekonomi, bahkan dalam teknologi.

Tapi sungguh membingungkan, ekspresi dan artikulasi peran agama tersebut justru melahirkan suasana mencekam, tidak ramah dan selalu mengundang konflik dan permusuhan.Agama formal akan tetap ada dan selalu dibutuhkan oleh manusia, tetapi ekspresi dan artikulasi perannya seperti terjadi dewasa ini bukanlah ekspresi dan artikulasi perannya yang terjadi. Agama pada hakikatnya mengandung ajaran yang menawarkan jalan kesucian, keselamatan dan perdamaian serta kebajikan bagi manusia. Agama diturunkan sebagai salah satu bukti dari kasih sayang Tuhan untuk manusia, agar manusia memiliki petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus, yang penuh keadilan, keharmonisan, dan kesejahteraan.

Agama formal sebagai suatu pilihan pada "jalan" keselamatan umat manusia, juga hendaknya selalu ditarik dan dihubungkan dengan kebajikan dan kemuliaan badi (perennial wisdom) tersebut, dan tidak malah terdistorsi dan tertutupi oleh gerakan pseudo agama.Bicara tentang prinsip-pinsip yang menjadi "kalimantun sawa" (ajaran yang sama) bagi agama-agama yang seolah-olah hanya berkisar pada ramah dunia ilangiti, buku ini juga menampilkan kekuatan pengubah ekspresi dan artikulasi peran agama yang sering bertolak-belakang dengan tujuan hakiki agama itu sendiri.

Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di Bumi

Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di  Bumi

Dalam diri kita terdapat cahaya suci (nurani) yang senantiasa ingin menatap Yang Mahacahaya (Tuhan). Karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian serta kebahagiaan yang paling prima. Dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan fitrah (natur) manusia yang paling dalam.

Agama hadir, tutur buku ini, untuk mendampingi manusia supaya mereka tidak salah dalam mengembangkan fitrah (bakat bawaan)-nya itu. Rangkaian ibadah merupakan kurikulum suci yang sengaja dirancang Tuhan Yang Mahakasih untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani kita. Dalam bahasa Alquran, agama laksana cahaya yang mengusir kegelapan dan menunjukkan jalan terang. Ia juga bagaikan curahan air yang memberikan kesejukan dan kehidupan.

Secara renyah tapi mendalam, buku ini mengulas tiga tahapan seorang mukmin dalam mendekat kepada Allah—Sumber segala kehidupan: ta‘alluq (berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah); takhalluq, secara sadar meneladani sifat-sifat-Nya; dan tahaqquq, tumbuh menjadi transmitter (pemancar) sifat-sifat-Nya yang mulia. Melalui tiga tahapan ini, seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang ‘abdullâh (hamba Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini.

Reinventing Indonesia : Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa

Reinventing Indonesia : Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa

Setelah satu dekade melewati Era Reformasi, bangsa Indonesia masih seperti tertatih-tatih mengarungi sejarahnya,. Meski sepertinya lepas dari ancaman disintegrasi yang begitu ditakutkan setelah tumbangnya pemerintah Orde Baru, bangsa ini terus dirundung masalah: konflik antaretnis yang memakan korban, ekonomi yang tak kunjung membaik, bencana alam yang beruntun, situasi politik yang bising tapi tak merakyat, dan lain-lain. Kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita di seberang “jembetan emas” kemerdekaan Indonesia tampak makin sukai dicapai.

Reinventing Indonesia bermaksud melepaskan dari belenggu pandangan kekinian dan jangka pendek, serta mencoba menggagas kembali secara lebih positif masa depan Indonesia. Meskipun sebagian membahas masalah kekinian, tetapi semangat yang hendak dibangun adalah refleksi masa depan bangsa.
Terlebih lagi, tahun 2008 adalah seabad Kebangkitan Nasional Indonesia serta delapan dekade Sumpah Pemuda, dua tonggak penting dalam pembentukan bangsa Indonesia, upaya menggagas kembali ideal-ideal yang dibayangkan oleh para pendiri bangsa menjadi makin penting. Dengan kata lain, buku ini diniatkan untuk menyumbang pikiran untuk menemukan kembali masa depan bangsa.

Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama? Negara

Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika  Ulama? Negara

Baik pada tingkat gagasan maupun praksis, kekuatan Islam di lndonesia hari-hari terakhir ini sedang berjalan memasuki lorong-lorong politik yang licin dan penuh jebakan. Dari pemilu ke pemilu, drama Islam politik terulang tanpa bisa dielakkan, tanpa bisa menghindari dahsyatnya godaan dan kutukan kekuasaan. Dari rezim ke rezim, pertarungan atas nama Islam berputar tanpa skenario baru, tanpa pemain debutan yang brilian, tanpa kejayaan yang elegan.

Para ulama dan kiai yang sebelumnya konsisten dan sibuk mengurus "dalam negeri" pesantren dan umat tiba-tiba menjadi selebriti politik. Ormas Islam, ulama, dan kiai banyak yang tergoda ikut merebut posisi, diperebutkan, bahkan terkadang tampak terseret untuk memasuki gelanggang pertarungan politik yang lebih luas. Mereka berpolitik dan men-cemplungkan diri dalam dunia yang penuh manuver dan intrik.

Menggali kembali ide dan wawasan bagaimana posisi Islam dan apa peran negara, buku ini berangkat untuk mengeksplorasi tiga varian penting. Pertama, makna agama dan bagaimana posisi ulama. Kedua, mempertanyakan secara kritis peran umat. Ketiga, menawarkan reposisi makna dan fungsi negara-bangsa.

Ditulis cendekiawan Muslim senior dari Paramadina bersama pengamat sosial-politik muda dari Nusantara Centre, buku ini akan memberi penyadaran dan pandangan kritis atas fenomena manuver politik ulama yang tak pernah berhenti hingga akhir 2004 ini. Sebuah buku yang direkomendasikan bagi mereka yang peduli pada masa depan ulama dan umat Islam Indonesia di masa-masa mendatang.

Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan

Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan

Rutinitas itu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi aktivitas hidup yang sudah rutin itu mudah dijalani, tidak memerlukan pemikiran dan persiapan serius, dan semuanya akan berlangsung normal seperti biasanya. Namun, sesungguhnya kita mesti mewaspadai aktivitas yang sudah berjalan rutin serta mekanis bagaikan mesin karena kebiasaan yang sudah mapan akan membuat hati dan pikiran tumpul, kehilangan daya kreatif dan reflektifnya.

Dalam bahasa psikologi, hati-hati ketika Anda sudah merasa aman bersembunyi di balik tembok comfort zone yang terbentuk oleh rutinitas karena yang sesungguhnya terjadi adalah Anda sudah terjebak dan terbelenggu dalam rutinitas yang membuat energi dan cahaya kehidupan kian redup, yang membuat seseorang tidak mampu lagi melihat perspektif hidup secara lebih luas, lebih dalam, lebih menyeluruh, dan lebih indah. Mereka yang tak mampu keluar dari tembok rutinitas yang membelenggu, sulit untuk bisa bergabung menikmati festival kehidupan bersama semesta.

Buku ini merupakan himpunan catatan dan refleksi Komaruddin Hidayat terhadap fenomena sehari-hari, yang oleh orang lain mungkin dianggap hal yang biasa dan sepele, tapi baginya ternyata memiliki makna yang dalam sehingga akan memperkaya batin. Buku ini sangat cocok dibaca oleh para eksekutif yang karena sibuk kadang kala tidak sempat merenung dan memberi makna kesibukan mereka kecuali seberapa besar menghasilkan nilai tambah secara materi. Oleh media massa, Komaruddin Hidayat sering disebut sebagai intelektual muslim moderat yang tulisan-tulisannya selalu ditunggu oleh komunitas penggermarnya.

250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna

250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna

Melalui serangkaian kata-kata bijak, penulis buku bestseller ini mengajak kita untuk memilih jalan kebahagiaan melalui hidup yang bermakna. Memburu harta dan jabatan tidak terlarang. Justru, kita harus mengejarnya. Namun, jadikan harta dan jabatan itu untuk membuat hidup kita bermakna. Caranya? Anda bisa temukan dengan menelusuri satu demi satu ungkapan-ungkapan bijak cendikiawan muslim yang dikenal sebagai penulis dan pembicara dengan tutur kata yang indah sekaligus dalam ini.

Politik Panjat Pinang

Politik Panjat Pinang

Buku ini diberi judul Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama? Diharapkan buku ini bisa merajut jarak atau kesengajaan antara kehidupan politik dan moral agama atau bahkan bisa menghilangkan jarak. Artinya, semua tindakan dan kebijakan politik tidak bisa dibenarkan, jika keluar dari moralitas universal yang juga diajarkan oleh agama. Realitas sosial-politik yang cenderung seperti perilaku lomba panjat pinang ketika menyambut acara peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus terjadi karena agama tidak dipahami substansinya, yakni nilai-nilai dasarnya. Agama, bahkan seringkali dipahami sebagai sesuatu yang serba formal, kaku, keras dan tidak mengarah pada misi agama yang sejatinya.

Berdamai dengan Kematian

Berdamai dengan Kematian

Bila ketakutan diganti dengan optimisme maka kematian akan mampu kita tempatkan seperti teman bagi kehidupan. Untuk itulah kita perlu berdamai dengan kematian.

Bila itu bisa kita lakukan, ajal pun akan kita songsong dengan senyuman. Saat malaikat pencabut nyawa datang, kita tak sungkan untuk mengucapkan “Assalamu''alaikum ya Izrail. Silakan engkau ambil nyawaku.”

Buku saudara Komaruddin Hidayat ini, menyimpan banyak pesan optimistik untuk menjemput kematian.”
Haidar Bagir, penulis buku bestseller Buku Saku Tasawuf

“Sebuah buku yang mengajak kita berdamai dengan sebuah kepastian (kematian) melalui jalan bersalaman dengan kehidupan yang tidak pasti.”
Gobin Vasdev, penutur kebahagiaan

Tiga Kamar Paling Favorit

TERDAPAT tiga kamar, ruang atau bilik yang amat vital dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu kamar tidur, kamar mandi, dan kamar makan.

Mungkin karena aktivitas hidup sering dijalani secara rutin layaknya sebuah mesin otomatis, kita tidak sempat mengambil jarak untuk merenung dan memberi makna betapa besar fungsi ketiga kamar itu. Mari sekilas kita renungkan satu per satu. Bagi pasangan suami-istri khususnya, tempat tidur merupakan ruang untuk saling mengenal secara dekat, tak ada batas antara keduanya.

Orang yang tidurnya suka mendengkur, misalnya, tidak bisa menyembunyikannya. Pasangan hidup kita juga akan kenal secara dekat melalui ruang ini, utamanya bagaimana kebiasaan dan gaya tidurnya? Lebih jauh dan lebih dalam lagi adalah menyangkut perilaku seksual. Makanya kamar tidur merupakan inti dan ruang terdalam dari bangunan rumah kita.

Di situlah seseorang ingin mendapatkan relaksasi dan kebahagiaan bersama pasangan hidupnya sehingga jika suasana tempat tidur tidak nyaman dan membahagiakan, dampaknya akan merembet ke mana-mana. Betapa tidur itu suatu nikmat dan anugerah yang teramat mahal, saya pernah mengalaminya ketika mata ini sulit sekali disuruh tidur, yang berlangsung sekira seminggu.

Kala itu akibat sulit tidur, beban hidup terasa amat berat. Dunia berputar tanpa henti, sangat melelahkan. Sindrom jet lag itu terjadi sepulang dari Saint Petersburg, Rusia. Di kota ini saya menyaksikan apa yang dikenal sebagai white night, pada jam dua belas malam pun masih tampak terang sehingga dapat melihat jarum jam tangan karena cahaya matahari.

Rupanya perubahan cuaca itu berpengaruh pada metabolisme tubuh, jam badan terpengaruh, sehingga sulit tidur setiba di Tanah Air. Kala itu saya sangat mendamba untuk merasakan kantuk dan tidur. Saya jadi sangat tersadar bahwa tidur itu nikmat Tuhan yang teramat mewah. Demikianlah, aktivitas tidur dan beragam agenda lain di kamar tidur itu sangat menentukan kualitas hidup kita.

Televisi, buku, laptop, dan perangkat salat tidak pernah absen dari ruang tidur saya. Bagaimana dengan kamar mandi? Di sini ada kebahagiaan lain yang ditawarkan. Bayangkan, bagaimana rasanya dan akibatnya andaikan kita mengalami susah buang air besar maupun kecil? Di kamar mandi ini pula kita merasakan betapa segarnya ketika tubuh mendapat siraman air tawar.

Tubuh bugar kembali, muncul rasa lega setelah badan dibersihkan sehingga percaya diri ketika ketemu teman. Di kamar mandi ini pula kita menemukan diri yang telanjang, ketika berbagai aksesori pakaian bermerek dilepas, mengingatkan waktu terlahir yang tidak berpakaian dan nanti ketika mati dikubur ke tanah juga hanya mengenakan tutup sekadarnya. Seseorang bisa merenungkan jati dirinya sewaktu sendiri di kamar mandi.

Wajah asli seseorang akan terlihat ketika beraktivitas di kamar mandi. Kamar yang lain adalah ruang makan, yang menawarkan kenikmatan lidah, kenikmatan yang berbeda dari yang didapat di ruang tidur dan ruang mandi. Di ruang makan kehangatan dan keintiman sebuah keluarga juga terpelihara dan terbangun.

Di ruang ini tidak semata kebutuhan fisik terpenuhi, melainkan juga kebutuhan emosi berkumpul dan berbincang ringan bersama keluarga dalam suasana yang cair merupakan bunga-bunga kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu sebaiknya dihindarkan pertengkaran di ruang makan karena akan menghilangkan kenikmatan rezeki yang terhidang.

Sungguh tidak etis seseorang yang mencela rezeki yang sudah terhidang di ruang makan karena sesungguhnya menyakiti sekian banyak orang yang telah terlibat dan berjasa mengantarkan sampai makanan itu berada di atas meja. Demikianlah, setiap hari kita berurusan dengan tiga macam kamar yang masing-masing memberikan kebahagiaan dan kenikmatan tersendiri. Pertanyaannya, kalau kita sudah memperoleh pemenuhan dan kenikmatan dari ketiganya, untuk aktivitas apakah selanjutnya?

Tanpa tujuan dan makna hidup yang mulia, sungguh rendah kualitas hidup kita, tak lebih hanya makan, tidur, dan buang kotoran. Beruntunglah, agama lalu mengajarkan, setiap masuk kamar dan melakukan aktivitas di dalamnya diingatkan untuk selalu berdoa agar kita dapat mensyukuri nikmat kehidupan yang bermakna dan bermanfaat untuk sesamanya.

Saya sendiri sering memperoleh inspirasi untuk menulis ketika berada di kamar mandi. Juga merasa khusyuk berdoa dan mensyukuri hidup sembari merasakan segarnya guyuran air di kamar mandi. Begitu pula setiap malam hendak tidur, pikiran dan hati terkesiap betapa hari cepat berlalu, lalu menghitung-hitung amal kebajikan apa yang telah saya perbuat di hari itu.

Malu sekali kepada Tuhan, ternyata diri saya tidak mampu mensyukuri anugerah hidup dengan memperbanyak amal kebajikan. Ketika hidup diisi dengan perilaku destruktif dan penuh semangat berburu barang haram lewat korupsi, misalnya, betapa ruginya hidup ini. Betapa rendahnya kualitas hidup kita.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Dekonstruksi Teologi Islam

Oleh: Zaprulkhan MSI, Dosen Tetap STAIN Abdurrahman Siddik


AKIDAH merupakan komponen psikologis, bukan uraian teoritis. Akidah tidak membahas sesuatu, melainkan mengarahkan perilaku, pendorong tindakan, dan pembangkit aktivitas yang menyatukan niat dan mengejawantahkan tujuan. Hari ini, titik sentral perhatian ilmu tauhid telah berubah: dari sifat Tuhan dan perbuatan-Nya menuju bumi kaum Muslim dan sumber kekayaannya, kemerdekaan, peradaban, dan kesatuan mereka. Itulah yang dinamakan tauhid yang dinamis, tauhid yang hidup, yakni mengubah realitas menjelma sesuatu yang ideal, dan mengubah sesuatu yang ideal menjelma sesuatu yang membumi.

Statemen di atas digulirkan oleh Hassan Hanafi, salah seorang ilmuwan besar Muslim yang hidup di Mesir, dalam Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, Dari Akidah Menuju Revolusi. Frase tersebut mencerminkan kegelisahan Hanafi terhadap spektrum pemikiran Islam yang telah terlalu lama mengalami stagnasi. Berangkat dari kegelisahan tersebut, Hanafi menawarkan sebuah proyek pembaruan holistik di bawah payung at-Turats wa at-Tajdid, Tradisi dan Modernisasi dengan tiga agenda utama yang saling berinteraksi secara dialektis.

Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda apresiasi kita terhadap khazanah klasik (mawqifuna min at-turats al-qadim). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan sikap kita terhadap peradaban Barat (mawqifuna min al-gharb). Ketiga, upaya membangun pembacaan kontekstual-fungsional terhadap Al-Quran yang mampu membebaskan umat Islam dari keterpurukannya yang merefleksikan sikap kita terhadap realitas (mawqifuna min al-waqi’).

Berhubungan dengan agenda pertama, Hanafi melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi terhadap teologi klasik yang dipelopori oleh Imam Asy’ari. Secara historis-sosiologis, Asy’ari telah melakukan ijtihad dengan mengkonstruksi akidah, misalnya sifat duapuluh. Jadi akidah tersebut merupakan kreasi kreatif Asy’ari dalam menghadapi tantangan zaman berupa pemikiran Hellenisme yang bercorak ateistik, menafikan Tuhan dalam realitas kehidupan umat manusia. Itulah alasannya semua formulasi akidah Asy’ari bermuara ketuhanan, melangit, dan spiritual, sehingga teologi Asy’ariyah disebut juga dengan teologi teosentrisme.

Pada konteks historis era klasik, tentu saja Asy’ari sangat berjasa, sebab ia telah menyelamatkan keyakinan sebagian kaum Muslim yang tengah gelisah digempur falsafah Hellenisme yang menafikan Tuhan di tengah-tengah kehidupan manusia. Secara individual, dalam bilik-bilik spiritual kehidupan seorang Muslim, teologi Asy’ari tetap relevan untuk memperkokoh keyakinan terhadap eksistensi Tuhan. Namun dalam konteks hari ini secara praksis-sosial, relevansi teologi teosentrisme Asy’ari ini mulai dipertanyakan.

Dalam perspektif Hanafi, teologi klasik di atas tidak lagi membumi sehingga ia mengajukan teologi yang bercorak antroposentrisme. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itulah, gagasan-gagasan Hanafi berusaha mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan menuju manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.

Berikut ini akan dipaparkan operasionalisasi teologi antroposentrisme Hanafi terhadap sifat-sifat Tuhan, seperti Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatul lil Hawadits, Qiyamuh binafsih, dan wahdaniyah. Wujud, menurut Hanafi, tidak lagi menjelaskan wujud Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Makna rekonstruktif wujud di sini adalah tajribah wujudiyah pada manusia, yakni tuntutan pada umat Islam untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya di tengah-tengah percaturan global.

Qidam, berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah. Qidam merupakan modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan yang digunakan untuk menatap realitas dan masa depan, sehingga tidak akan terjatuh lagi dalam kesesatan, taqlid buta, dan kesalahan. Sedangkan Baqa’, bermakna tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, dengan memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan yang bisa
mempercepat kerusakan di muka bumi. Dengan kata lain, baqa’ adalah ajakan pada manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan alam, serta ajakan agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.

Selanjutnya mukhalafatul lil Hadits, berbeda dengan yang lain, bermakna tuntutan agar umat manusia mampu menunjukkan esistensinaya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyamuh binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.

Begitupun Wahdaniyah, bermakna keesaan, bukan merujuk pada keesaan Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada paham tinitas ataupun politheisme, tetapi lebih mengarah pada ekperimentasi kemanusiaan.
Wahdaniyah adalah pengamalan umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebusdayaan dan kesatuan kemanusiaan.

Melalui pembacaan teologi antroposentris ini, sekali lagi Hanafi bukan bermaksud menafikan teologi klasik yang bercorak teosentris. Ia tetap menghargai teologi teosentris tersebut, namun Hanafi juga ingin melampauinya dengan pemaknaan baru yang lebih kontekstual-fungsional dan kompatibel dengan kebutuhan kaum Muslim hari ini dalam menghadapi pelbagai masalah aktual kemanusiaan, seperti kebodohan, imperialisme, kemiskinan, keterbelakangan, demokrasi, kemajuan, dan keadilan. Terlebih lagi dalam tataran akademik di perguruan tinggi, kaum intelektual, ilmuwan, dan cendekiawan semestinya mampu melakukan pembacaan baru terhadap teologi Islam sehingga mampu menjawab puspa ragam problematika kaum Muslim secara konkrit.

Pada titik inilah, fungsi paling signifikan teologi, dalam pandangan Hanafi, adalah memerangi kebodohan, kepapaan, kejumudan, dan keterbelakangan umat Islam terutama kelompok ekonomi yang lemah dalam strata sosial sehingga bisa mengubah kondisi mereka dari stagnan menuju dinamis, dari bawahan menjadi pemimpin, dari yang terlupakan menjelma sang panglima peradaban. Inilah yang dinamakan oleh Hanafi sebagai tauhid yang praktis, tauhid yang dinamis, tauhid yang hidup. Itulah yang dinamakan akidah yang revolusioner.

Makna Tahun Baru Hijriyah

Oleh: Zaprulkhan MSi, Dosen STAIN Abdurrahman Siddik
edisi: 19/Dec/2009 wib

“Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung; dan barangsiapa yang keadaan hari ini sama dengan hari kemarin, maka dialah orang yang merugi”(Hadits).

TANPA suara kereta waktu terus bergulir membawa kita dari milenium kedua memasuki milenium ketiga, dari abad duapuluh memasuki abad duasatu, dari tahun lalu memasuki tahun ini, dari bulan Dzulhijjah ke bulan Muharram. Dentang kedatangan tahun baru Hijriyah bergema.

Hadist Nabi di atas mengingatkan kita betapa pentingnya kesadaran tentang dimensi waktu. Pertanyaannya, kapankah seseorang mampu menatap betapa berharganya nilai kehadiran sang waktu secara tepat, akurat, dan jernih?

Dalam kubangan rutinitas, lazimnya kebanyakan kita lengah terhadap putaran sang waktu. Dari detik ke detik, menit ke menit, hari ke hari, hingga putaran tahun ke tahun, waktu berlalu begitu cepat tanpa kita sadari. Semuanya bergulir secara otomatis apa adanya menuju tahun berikutnya. Namun ketika momen-momen besar, seperti tahun baru hadir menyapa kita, seakan-akan kita terhenyak sadar betapa berharganya waktu dan betapa miskinnya makna yang telah kita rajut selama setahun silam.

Untuk melihat objektivitas waktu, izinkan saya meminjam analisis filosofis dua filsuf Perancis dan Jerman terkenal yaitu Henry Bergson dan Martin Heidegger. Menurut Bergson, ada dua macam waktu. Pertama, waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi. Dalam konsep ini, waktu diklasifikasi ke dalam satuan-satuan yang homogen, seperti milenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, dan detik. Inilah waktu yang berada pada tataran dimensi objektif-fisis.

Dalam istilah Perancisnya, Bergson menyebutnya sebagai temps, waktu yang digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan kita sehari-hari. Nah, pengalaman kita saat bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini dinamakan pengalaman fenomenal, yakni pengalaman kita yang banal dalam kebiasaan hidup sehari-hari. Pengalaman jenis ini nyaris dilakoni oleh kebanyakan manusia umumnya.

Kedua, waktu kualitatif yang tidak berhubungan dengan ruang (tempat), bersifat kontinuitas dan mengalir terus-menerus tak terbagi. Waktu jenis ini terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis. Bergson menamakan waktu ini dengan duree, yang berarti lamanya, yang digunakan untuk manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita tatkala bersentuhan dengan waktu kualitataif tersebut dinamakan pengalaman eksistensial, yakni pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan ranah sukma spiritual kita yang terdalam.

Mendekati penjelasan Bergson, menurut Heidegger ada dua macam waktu: waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer, alat pengukur waktu, seperti arloji, kalender dan berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dialami oleh orang perorang secara individual. Jika waktu objektif berada di luar sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di dalam sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain.

Waktu sehari semalam dalam pandangan mayoritas orang secara objektif berisi dua puluh empat jam, namun durasi waktu itu terasa bagaikan dua puluh empat menit bagi sepasang kekasih yang sedang berkencan di bawah payung asmara. Bagi orang-orang yang berada di tengah-tengah pesta waktu dua belas jam terasa begitu cepatnya. Tapi bagi orang yang sedang sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat lama.

Fakta yang mungkin sering kita alami adalah waktu lima jam sangat berbeda antara Anda yang menunggu dengan saya yang sedang ditunggu. Waktu lima jam itu terasa sangat lama bagi Anda namun terasa biasa saja bagi saya. Padahal ukuran waktu sehari semalam, dua belas jam, atau pun lima jam itu, secara matematis tidak ada bedanya, waktu itu bergulir secara objektif di mana pun. Albert Einstein melukiskan pengalaman eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama gadis yang baik, orang merasa dua menit; namun jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua jam.”

Dalam konteks inilah, momen besar tahun baru yang kita rasakan tidak boleh hanya berhenti pada kesadaran jernih semata dalam melihat berjalannya roda waktu secara perlahan-lahan, melainkan harus bermuara pada pertanyaan introspektif-kontemplatif: Apakah aku telah mengukir waktu-waktuku sebelum ini dengan aneka kebajikan dan pengabdian atau justru dengan keburukan dan kedurhakaan? Apakah bentangan usia yang telah kulalui selama ini sudah aku renda dengan puspa ragam kearifan dan ketaatan atau malah aku rajut dengan berbagai kelalaian dan kemaksiatan?

Tahun baru Islam kali ini mesti menghadirkan kegelisahan eksistensial semacam itu. Mengapa demikian? Karena umur manusia merupakan modal yang setiap saat selalu berkurang dan akan sia-sia bahkan membawa celaka apabila tidak diinvestasikan dalam pengabdian kepada Dzat Yang Maha Memiliki waktu. Waktu setahun atau sebulan, kegiatan sehari atau hanya beberapa jam, bahkan satu detik nafas yang baru saja kita hembuskan tidak akan pernah kembali lagi kepada kita. Kita tidak bisa menarik kembali momen itu untuk hadir sekarang.

Itu artinya setiap waktu, umur (modal) kita senantiasa berkurang. Sudah berapa banyakkah modal (baca umur) yang kita keluarkan dalam arena kehidupan selama ini? Sepuluh tahun, dua puluh, tiga puluh, atau sudah lima puluh tahun lebih kita mengarungi lautan waktu kita? Persoalannya, apakah modal-modal yang kita keluarkan selama ini akan membawa keberuntungan (pahala) atau justru membuahkan kerugian (siksa)? Bukankah sebanyak apapun modal yang kita tanam, sejauh itu pula buah kebahagiaan atau kesengsaraan yang pasti akan kita tuai suatu saat kelak?

Dalam terang perspektif inilah, mengikuti kriteria teladan ideal kita Rasulullah, tahun baru Hijriyyah kali ini mengajak kita untuk menghargai kehadiran sang waktu. Kalau hari-hari kita sekarang sama dengan hari kemarin, maka kita menjadi orang yang merugi (maqfun); namun kalau hari-hari kita sekarang lebih baik ketimbang hari kemarin, maka kita menjelma orang-orang yang beruntung (roobih). Dengan kata lain, Nabi kita berpesan: Today must be better than yesterday and tomorrow must be better than today.***

Ketika Agama Menjadi Sumber Bencana

Oleh: Zaprulkhan MSI, Dosen STAIN Syaikh Abdurahman Siddik

Dalam setiap jantung agama terdapat sumber-sumber autentik yang bisa memberikan kontribusi secara positif bagi pembangunan masyarakat dunia
JUDUL artikel di atas terinspirasi oleh karya pakar perbandingan Agama di Universitas Wake Forest, Charles Kimball yang berjudul When Religion Become Evil.

Meskipun judul buku tersebut sangat provokatif, namun Kimball tidak menyalahkan satu agama pun sebagai sumber kekerasan atau kejahatan. Kimball bahkan mengakui bahwa secara intrinsik setiap agama merupakan sumber pembawa kedamaian, kebajikan, toleransi, kerja sama, dan cinta kasih antar sesama umat manusia di bawah payung besar yang bernama kemanusiaan dan ketuhanan.

Namun secara historis-sosiologis, Kimball melihat pula bahwa doktrin-doktrin agama yang bersifat kudus dan sakral seringkali disalahpahami dan dibajak demi kepentingan orang-orang yang picik dalam memandang agama.

Setiap agama yang sejatinya berwajah sejuk dan damai, justru menjelma menjadi kebencian, permusuhan, kekerasan, dan peperangan. Kalau demikian, kapankah wajah agama yang sejuk dan damai menjelma menjadi permusuhan dan kekerasan? Dengan meminjam istilah Kimball secara langsung, kapankah agama berubah menjadi jahat (become evil)? Mari kita renungkan lima faktor yang bisa menyebabkan agama berubah menjadi bencana di tengah-tengah isu kekerasan, pelecehan, bahkan terorisme atas nama spiritualitas atau agama yang sedang melanda bangsa kita hari ini.

Pertama, bila penganut suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan membawa klaim tersebut kepada penganut-penganut agama lain dan menafikan kebenaran yang terkandung dalam agama lain. Tentu saja setiap pemeluk agama boleh mengklaim kebenaran mutlak agama mereka masing-masing. Namun kebenaran mutlak ini tidak boleh dibawa keluar terhadap penganut lain, sebab klaim ini akan mengakibatkan clash, benturan antar setiap penganut agama.

Menyikapi hal tersebut, sebagian cendekiawan merumuskan sebuah konsep yang disebut relativisme eksternal. Yakni setiap pemeluk agama secara personal dan dalam komunitas agamanya masing-masing boleh mengklaim kebenaran absolut agama mereka.

Tetapi klaim absolut ini tidak boleh diterapkan keluar ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain. Dengan kata lain, relativisme eksternal merupakan salah satu strategi kerukunan antar umat beragama dimana secara internal kita bebas mengumbar klaim absolutisme agama, namun dalam kelompok agama lain kita merelatifkan pandangan tersebut agar tidak terjadi bentrokan.

Kedua, kepatuhan buta terhadap pemimpin keagamaan. Setiap agama memang memiliki pemimpin keagamaan yang menjadi pembimbing sekaligus teladan masyarakat kebanyakan yang tidak memiliki wawasan yang cukup tentang agamanya.

Namun agama yang benar-benar autentik selalu menganjurkan untuk menggunakan intelek dan kebebasan setiap pemeluknya dalam menjalankan agamanya. Sebab dalam dunia kontemporer, banyak terjadi kasus kepatuhan buta kepada pemimpin agama yang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan.

Bunuh diri massal yang dilakukan 914 orang pengikut gerakan keagamaan Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Amerika Utara, Gerakan Aum Shinrikyo yang menebarkan senjata kimia beracun yang mematikan di bawah pimpinan Asahara Shoko di Jepang pada tahun 1995, dan gerakan keagamaan David Koresh yang mengesahkan hubungan seksual dengan semua wanita pengikutnya di bawah komando Vernon Howell pada tahun 1990-an, merupakan segelintir contoh tentang kepatuhan buta kepada pemimpin agama yang membuahkan tindakan tragis.

Dengan alasan ini, Kimball memperingatkan supaya berhati-hati terhadap gerakan agama yang bertentangan dengan akal sehat dan menuntut para pengikutnya untuk melakukan ketaatan buta terhadap para pemimpin karismatik mereka.

Ketiga, mendambakan zaman ideal dan bertekad merealisasikan zaman keemasan tersebut ke dalam konteks hari ini. Setiap agama memang mengajarkan sebuah idealisme bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok mesti lebih baik daripada hari ini.

Konsep ini merupakan kerinduan tentang sesuatu yang ideal dan mesti diperjuangkan terus menerus tanpa henti. Namun ketika visi tentang zaman ideal ini diimplementasikan dalam bentuk praktik-praktik komunal yang paling benar dan menyalahkan praktik-praktik yang ada selama ini, maka bencana tampaknya tinggal menunggu waktu.

Idealisme itu biasanya mendorong para penganut agama untuk mendirikan sebuah negara agama atau negara teokratis. Contoh konkritnya, rezim Taliban di Afganistan yang kejam terhadap warganya sendiri demi ketaatan terhadap syariat Islam, atau ide negara Yahudi seperti dicetuskan Rabi Mei Kahane yang konsekuensinya harus mengusir warga Arab dari daerah Judea dan Samaria.

Dalam The Power of Now, Eckhart Tolle melukiskan idealisme semu ini dengan indah: This is a chilling example of how belief in a future heaven creates a present hell; sebuah contoh yang mengerikan betapa keyakinan terhadap suatu surga di masa depan justru menciptakan neraka di masa kini.

Keempat dan terakhir, jika pemeluk agama telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diyakininya dan perang suci atas nama agama diikrarkan, saat itulah agama menjadi bencana.

Dalam era kalsik, kita bisa menemukan contoh tragis ini ketika Paus Urban II menyerukan ekspedisi pada tahun 1095-1099 M yang kemudian dikenal dengan perang salib pertama sehingga terjadi pembantaian 40.000 kaum Yahudi dan Muslim secara biadab atas nama agama. Dalam konteks awal milenium ketiga ini, kita juga bisa menemukan terorisme modern dalam tragedi 11 September 2001, yang memakan begitu banyak korban tak bersalah.

Salah satu solusinya menurut Kimball, para penganut agama perlu menoleh kepada pengalaman Mahatma Gandhi yang mampu memimpin suatu revolusi nirkekerasan melawan kekuasaan kolonial Inggris.

Gandhi mempunyai tujuan yang jelas dan sesuai dengan ajaran agamanya. Namun dalam merealisasikan tujuan tersebut, ia tidak pernah menafikan kelompok manapun. Ia malah mengajak kelompok lain untuk membantu kelompoknya dalam mengejar tujuannya yang mulia. Dengan demikian, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana dan memutlakan sarana menjadi tujuan dengan mengorbankan pihak lain.

Melihat semua fenomena di atas, bagaimanapun juga dalam setiap jantung agama terdapat sumber-sumber autentik yang bisa memberikan kontribusi secara positif bagi pembangunan masyarakat dunia. Karena itulah, agama perlu terus menggali tradisinya dan menemukan kebijaksanaan yang mampu mengusahakan kedamaian dan rekonsiliasi, bukannya perang dan permusuhan.

Akhirnya kearifan itu harus disemaikan bukan hanya dalam koteks kemanusiaan yang bersifat lokal, melainkan dalam konteks global dan plural. Sehingga agama bukan sebagai bencana tetapi tetap menjadi sumber mata air kedamaian universal umat manusia. (*)

Substansi Makna Takwa

Oleh: Zaprulkhan MSI, Dosen STAIN Bangka Belitung

Substansi makna takwa itu secara global mempunyai dua dimensi: dimensi pertama berkaitan dengan kehidupan duniawi dan dimensi kedua berkaitan dengan kehidupan ukhrawi.

DALAM terminologi agama kita, barangkali tidak ada istilah yang lebih akrab bagi kebanyakan kita ketimbang istilah takwa. Namun boleh jadi pemahaman kita tentang takwa kurang tepat atau tidak lengkap. Kata ‘takwa’ secara etimologis berasal dari bahasa Arab; waqo-yaqi-wiqoyah yang berarti menjaga, memelihara, atau menghindar dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan. Perintah untuk bertakwa ini dalam Al-Quran terulang sebanyak 69 kali.

Perintah ini umumnya terhadap Allah dan ada juga perintah bertakwa dari api neraka serta hari pembalasan. Menurut sebagian mufasir, perintah kepada Allah dengan redaksi ittaqullah, dimana antara kata ittaqu dan Allah harus disisipi kata siksa atau sanksi dan kata-kata yang semakna dengannya sehingga perintah bertakwa kepada Allah berarti perintah untuk berlindung dari siksa-Nya atau sanksi-sanksi hukum-Nya.

Dalam perspektif Muhammad Abduh, siksa atau sanksi Allah ada dua macam yaitu siksa di dunia dan siksa di akhirat. Siksa di dunia terjadi akibat pelanggaran terhadap segala hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan, termasuk hukum-hukum alam (sunnatullah) dan kemasyarakatan yang sudah ditentukan-Nya. Sementara siksa di akhirat kelak sebagai akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat-Nya secara luas termasuk ketentuan-ketentuan ritual praktis.

Ketika seseorang tidak mengindahkan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan di dunia ini, pasti konsekuensi logisnya ia akan mendapat sanksi duniawi. Orang yang terlalu banyak makan atau makan makanan kotor, ia akan sakit. Orang yang malas atau tidak mau bekerja padahal dia mampu, maka ia akan hidup miskin. Orang yang malas belajar, padahal pintu pelajaran terbuka, maka ia akan menjadi bodoh. Sejauh mana pelanggarannya, sejauh itu pula sanksi Allah akan diberikan. Semakin besar dan luas pelanggaran yang dilakukan, maka semakin besar dan luas sanksi yang akan diterimanya. Sebuah bangsa yang masyarakatnya mayoritas malas belajar, tidak giat bekerja dan tidak kreatif, akibatnya pasti bangsa itu akan menjadi bangsa yang bodoh, miskin, dan terbelakang.

Sakit, bodoh, miskin, dan terbelakang ini merupakan sanksi-sanksi Allah yang bersifat duniawi karena pelanggaran terhadap hukum-hukum-Nya yang bersifat duniawi pula. Dan sanksi yang bersifat duniawi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kualitas keimanan atau ibadah ritual seseorang. Seorang Muslim boleh jadi rajin salat lima waktu, bahkan rajin tahajud, tapi kalau malas belajar, ia akan tetap bodoh. Seorang Muslim mungkin rajin puasa sunnah dan menjalankan ibadah ritual lainnya, namun bila tidak giat bekerja, ia tidak akan kaya-raya, dan tetap menjadi orang miskin. Ada juga orang yang ingin meraih kesuksesan duniawi dengan rajin berdoa dan menjauhi maksiat, tetapi tidak berusaha mengikuti jalan-jalan sunnah kausalitas-Nya dan rute-rute duniawi yang mengantarkan menuju kesuksesan, maka konsekuensinya ia akan gagal.

Sebaliknya contoh ekstremnya, jika seorang ahli maksiat tapi rajin belajar, ia akan menjadi orang pintar. Walaupun dia orang zalim, tapi jika giat bekerja, tekun, dan kreatif, tentu saja akan menjadi orang yang kaya raya. Bahkan meskipun sebuah bangsa yang “kafir” namun jika semangat mereka tinggi, kerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif, pasti bangsa itu akan mengalami kemajuan dan sukses.

Jadi keliru jika ada orang yang mengatakan, “Saya sudah rajin salat, kok belum kaya raya juga. Sementara mereka, orang-orang yang tidak pernah salat, ngaji, dan puasa kok kaya, rezeki mengalir terus dan lancar.” Karena persoalannya, tidak ada korelasi positif antara kaya dan salat. Untuk meraih kekayaan, jalannya adalah dengan giat bekerja, tekun, disiplin, dan tidak putus asa. Syarat-syarat inilah yang akan membuahkan kekayaan, sedangkan salat itu buahnya kedamaian jiwa, pencerahan spiritual, keberkahan hidup, dan pahala yang akan didapat di akhirat kelak.

Sehingga substansi makna takwa itu secara global mempunyai dua dimensi: dimensi pertama berkaitan dengan kehidupan duniawi dan dimensi kedua berkaitan dengan kehidupan ukhrawi. Orang-orang zalim, ahli maksiat, dan “kafir” yang hidupnya senang, makmur, kaya, dan menikmati kemajuan dalam bidang sains dan teknologi misalnya, karena mereka sudah melaksanakan dimensi syarat-syarat takwa yang pertama; Mereka telah selaras mengikuti sunnatullah, hukum-hukum kausalitas yang sudah Allah titahkan di dunia yang tidak bisa di ubah.

Keniscayaan hukum-hukum Allah ini ditegaskan dalam Al-Quran sampai diulang dua kali; “Maka sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan perubahan bagi sunnah Allah dan engkaupun tidak akan pernah mendapatkan penyimpangan pada sunnah Allah itu “ (QS. Faathir: 43).

Dua dimensi takwa ini analog dengan makna sifat Allah dalam Asmaul Husna yaitu sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahmim Allah. Dalam pengamatan Quraish Shihab, makna sifat Rahman adalah rahmat Allah yang sempurna kepada seluruh mahluk dan manusia tanpa memandang keyakinannya dan bersifat sementara di dunia ini menurut ukuran duniawi. Sedangkan makna sifat Rahim adalah rahmat Allah yang akan diberikan di akhirat kelak menurut norma-norma ukhrowi, yakni dengan memandang kepada keyakinan orangnya.

Dengan kata lain, sifat Rahman merupakan kasih Tuhan yang dapat diraih dengan ilmu pengetahuan seseorang (ilmu pengetahuan secara luas). Sedangkan sifat Rahim merupakan kasih Tuhan yang dapat diraih dengan keimanan seseorang. Di sini, ada korelasi positif antara sifat Rahim dengan keimanan dan sifat Rahman dengan pengetahuan. Sebab jika iman memberikan pedoman-pedoman normatif yang bersifat transendental kepada Tuhan sebagai Ar-Rahim, maka ilmu pengetahuan memberikan kecakapan-kecakapan operatif yang bersifat diskursif-rasional kepada alam semesta sehingga akan mendatangkan kasih Tuhan sebagai Ar-Rahman.

Dengan berbagai alasan ini, maka tidak berlebihan jika Allah dalam Al-Quran menegaskan bahwa Dia akan memuliakan golongan manusia yang menggabungkan iman dan ilmu di atas golongan lain. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujaadilah: 11).

Karena itu pesan moralnya, seorang Muslim sejati harus mengamalkan kedua dimensi takwa tersebut agar meraih kebahagiaan duniawi sekaligus ukhrawi, sebab iman memberi kita landasan ideologis-transendental yang kukuh dan ilmu pengetahuan melengkapi kita dengan kecakapan teknis-operasional yang tangguh.(*)

Falsafah Insya Allah

Oleh Zaprulkhan MSI Dosen STAIN Abdurrahman Siddik

Ketika Anda jatuh dalam kegagalan dan melesetnya janji yang Anda ikrarkan tanpa membawa nama Tuhan, masih mending jika Anda hanya mengalami kerugian seperti Nashruddin

NARUDDIN terkenal sebagai orang yang jenius, cerdas, ahli dalam strategi permainan hidup, dan mempunyai perhitungan yang jitu. Pada suatu hari dia berkata kepada istri tercinta akan pergi membajak sawahnya yang berada di dekat sungai dan segera pulang siang hari.

Istrinya yang merupakan wanita salihah, menasihati suaminya supaya tidak takabbur, “Kanda, ucapkanlah insya Allah jika engkau merencanakan sesuatu,”. Karena begitu percaya dengan kecerdasan dan perhitungannya yang selalu tepat, Nashruddin menjadi khilaf, “Apakah Allah menghendaki rencanaku atau tidak, itulah rencanaku”.

Ketika sedang asyik membajak sawah, tiba-tiba hujan turun dengan deras sekali. Air sungai meluap serta menghanyutkan keledai Nashruddin.

Sementara kerbaunya kendati tidak ikut hanyut oleh gelombang air sungai, namun salah satu kaki kerbau itu patah karena terseret arus air dan terbentur bebatuan. Nashruddin dengan terpaksa membajak sawahnya sendirian tanpa bergairah sama sekali.

Seharian penuh dia bekerja dengan penuh keletihan, namun hanya sepertiga bagian sawahnya yang dapat ia bajak. Ketika senja sudah tiba, ia bersiap-siap untuk pulang, ternyata baru tengah malam air sungai reda sehingga Nashruddin bisa pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup sekujur tubuh dan menggigil kedinginan.

Akhirnya dengan sangat letih dan tertatih-tatih Nashruddin sampai juga ke rumahnya. Ketika sampai di depan rumah dengan tenaga penghabisan ia mengetuk pintu. “Siapakah di sana?”, tanya istrinya dengan gelisah. “Insya Allah, aku adalah Nashruddin, suamimu”, jawabnya dengan acuh tak acuh.

Kisah kecil ini bukan hanya menjadi bunga tawa, tapi juga menjadi bahan untuk merajut makna. Apakah Anda pernah mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh Nashruddin? Apakah Anda pernah bersandar pada perhitungan logika statistik pengetahuan Anda terhadap realita dan melupakan perhitungan Tuhan yang tak kasat mata? Pernahkah Anda berulang kali mengejar rencana Anda dengan berpijak pada seluruh kecerdasan otak, kehebatan strategi, dan kekuatan fisik Anda sambil mengabaikan hukum-hukum ketuhanan? Dan selalu berhasilkah Anda dalam setiap kebijakan yang Anda targetkan, tanpa mengucapkan insya Allah, jika Allah menghendaki?
Anda tidak perlu memberi jawaban terhadap pertanyaan ini, baik secara negatif maupun positif. Karena hampir dapat dipastikan

setiap kita tentu pernah mengalami realitas tersebut. Entah ketika akan melakukan kegiatan yang sangat penting apalagi mengerjakan sesuatu yang sepele, kita tentu saja pernah hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri dan mengesampingkan kebijaksanaan Tuhan.

Kalau begitu apakah kira-kira yang menyebabkan kita begitu sering melalaikan kekuasaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dalam menggapai cita-cita dan impian yang kita dambakan? Mari kita eksplorasi tiga argumentasi analisis-deskriptip untuk menjawab persoalan ini.

Pertama, faktor kekuatan, baik kekuatan fikiran, intelektual, maupun finansial. Karena uang Anda banyak, Anda pergi ke swalayan untuk memastikan dapat membeli sesuatu yang Anda inginkan.

Tapi entah kenapa tiba-tiba di tengah jalan, Anda kecopetan. Uang Anda ludes dan Anda gagal mendapatkan barang impian Anda. Dengan kekuatan fisikal dan kejeniusan nalar yang Anda miliki, Anda targetkan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, namun ternyata sasaran Anda meleset. Semua kekuatan ini tanpa Anda sadari telah menimbulkan kepongahan dalam diri Anda dan menafikan kekuatan Tuhan.

Kedua, faktor rutinitas. Betapa seringnya keseringan menjebak orang terjebak dalam lingkaran kelalaian terhadap Tuhan Sang Pencipta kebiasaan itu sendiri.

Kebiasaan Anda bangun jam lima subuh, sarapan pagi pukul tujuh, makan siang hari jam dua belas tepat dan kemudian ke tempat pembaringan malam hari pada jam sepuluh malam menyebabkan nama Tuhan tak terlintas sedikit pun dalam benak Anda. Padahal tahukah Anda, bila setiap kesibukan yang melalaikan Anda kepada Allah, tidak pernah keluar dari lingkaran kesibukan-Nya? Sadarkah Anda bahwa semua yang ada di kolong langit dan di bumi ini selalu meminta kepada-Nya, sehingga setiap waktu Dia dalam kesibukan? (QS Ar-Rahman :29).

Ketiga, faktor lemahnya kesadaran transendental. Satu di antara kelemahan manusia yang paling dominan adalah ketidakmampuannya dalam melihat cara kerja Tuhan, invisible hand, di tengah-tengah kehidupan mereka.

Padahal segenap semesta berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tak terkecuali diri Anda. Simak
firman-Nya, “Tidak ada satu makhluk pun yang melata kecuali Dia memegang ubun-ubunnya” (QS Huud: 56).

Gagasan implikatifnya begini: setiap tindakan yang belum Anda jalani, di sana ada semesta rahasia Ilahi bagi Anda.

Segala rencana yang sudah pasti dalam benak Anda, sesungguhnya mengandung sejuta ketidakpastian di dalamnya. Setiap jengkal langkah kaki yang belum Anda lalui, selalu ada unsur enigmatic dan unpredictable-nya, penuh teka-teki dan tidak dapat diramalkan secara pasti. Bahkan dalam setiap tarikan nafas Anda, menyimpan noktah-noktah keajaiban hidup dan misteri takdir Anda.

Pada tatanan inilah, ketika Anda jatuh dalam kegagalan dan melesetnya janji yang Anda ikrarkan tanpa membawa nama Tuhan, masih mending jika Anda hanya mengalami kerugian seperti Nashruddin yang kehilangan keledainya, kerbaunya patah kaki dan kelaparan sampai malam hari.

Tapi bagaimana jika Anda kehilangan harga diri di depan keluarga, dan masyarakat Anda? Bagaimana seandainya kepercayaan dan reputasi Anda jatuh di hadapan para karyawan dan orang-orang kepercayaan Anda, bahkan dihadapan dunia? Karena itu, bersikap rendah hatilah pada setiap kegiatan yang akan Anda tunaikan.

Sadarilah kelemahan, kekurangan, dan ketidakberdayaan Anda serta akuilah kekuatan, kesempurnaan, dan keperkasaan Allah. Alangkah bijaknya jika dalam setiap dimensi kehidupan yang akan Anda lalui, Anda senantiasa bersandar kepada Allah dengan melafazkan sekaligus menyakini kalimat: Insya Allah, jika Allah menghendaki. (*)

bangkapos.cetak