Minggu, 20 April 2014

Mencintai Buku

REPUBLIKA - Tgh Habib Ziadi

Generasi salafus shalih pernah menguasai dunia berkat keimanan mereka yang kokoh bagai gunung dan keilmuan mereka yang mendalam bagai lautan. Kecintaan mereka pada iman, ilmu, dan amal melebihi cinta manusia biasa pada harta, anak, dan istri.

Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, "Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun."

Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, "Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat."

Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, "Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?"

Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.

Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus. 

Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.

Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.

Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.

Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.

Sikap Al-Jahidz sangat mendasar.  Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.

Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.

Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi'i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.

Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.

Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.

Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.

Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.

Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya. 

Ingin Cepat Menang

REPUBLIKA - Muhammad Arifin

Ketergesa-gesaan adalah salah satu sifat manusia. Ini seperti disebut dalam firman Allah SWT, ''Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepada kamu tanda-tanda (kekuasaan)-Ku, maka janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya.'' (QS al-Anbiya [21]: 37).

Pada ayat lain Allah SWT berfirman, ''Dan manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa.'' (QS al-Isra' [17]: 13).

Penyebutan kata 'ajal yang berarti ketergesa-gesaan dengan berbagai turunannya dalam Alquran hampir semuanya dalam konteks celaan.

Ini mengisyaratkan, meskipun merupakan sifat yang melekat pada diri manusia, ketergesa-gesaan adalah sifat kurang baik yang harus dihindari. Termasuk, tergesa-gesa untuk memperoleh kemenangan.

Salah seorang sahabat Nabi SAW, Khabbab bin Al-Art, pernah mengalami penderitaan sangat parah. Ia pernah disiksa dengan api oleh tuannya saat diketahuinya memeluk Islam.

Siksaan itu tidak lain agar Khabbab tidak mempercayai kerasulan Nabi Muhammad. Pada kesempatan lain, Khabbab yang sebelum Islam pernah bekerja sebagai pandai besi, menagih utang pada Al-'Ash bin Wa'il as-Suhami. Malang, As-Suhami menolak membayar utangnya.

As-Suhami mengatakan,''Aku tidak akan membayar utangku kepadamu sebelum kamu mengingkari (kenabian) Muhammad."

Dengan tegas Khabbab menjawab, "Aku tidak akan mengingkari kenabian Muhammad sampai Allah mematikanmu dan membangkitkanmu lagi."

Khabbab lebih memilih utangnya tidak dibayar daripada harus mengingkari kenabian Muhammad SAW yang sudah ia yakini.

Akan tetapi, ketabahan Khabbab rupanya sedikit tergoda ketika tekanan orang-orang musyrikin semakin bertambah berat.

Ia mendatangi Rasulullah SAW yang sedang berteduh di bawah Kabah dan meminta beliau bermohon agar Allah SWT segera menurunkan kemenangan kepada umat Islam. 

"Mohonlah segera pertolongan Allah untuk kita, berdoalah kepada Allah untuk kami, ya Rasulullah!" Demikian permohonannya kepada Rasulullah SAW.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam permintaan Khabbab itu. Sebuah permohonan yang datang dari hati yang telah lama lelah menahan siksa. 

Permohonan dari hati yang berharap kemenangan yang dijanjikan oleh Allah. Tetapi Rasulullah SAW menanggapi permintaan Khabbab itu dengan muka merah.

Beliau duduk dari pembaringannya dan bersabda, "Orang sebelum kamu dahulu ada yang sudah digalikan tanah untuk dikubur, lalu di kepalanya diletakkan gergaji untuk memenggalnya tetapi hal itu tidak menghalanginya tetap teguh pada agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi hingga dagingnya terpisah dari tulangnya, tetapi hal itu tidak membuatnya goyah dari agamanya. Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini hingga seseorang berjalan dari Sanaa ke Hadramaut tidak merasa takut kecuali kepada Allah, tidak pula merasa khawatir atas kambing-kambingnya dari serangan serigala. Tetapi kalian tergesa-gesa." (Diriwayatkan oleh Bukhari).

Dalam perjuangan dakwah menegakkan agama, kita terkadang bersikap kurang sabar dan ingin cepat menang, ingin cepat berhasil.

Padahal, Nabi Musa AS dan kaumnya baru berhasil mengalahkan Firaun setelah puluhan tahun mengalami penyiksaan dan penderitaan.

Nabi Yusuf AS baru berhasil menjadi penguasa Mesir setelah terlebih dahulu mengalami fitnah dan bahkan dipenjara.

Sahabat-sahabat Nabi SAW baru berhasil menegakkan ajaran setelah harus melalui dua kali pengungsian ke Habasyah, berkali-kali terlibat perang, dan berbagai bentuk penderitaan lainnya.

Kita tidak dituntut menang, tetapi dituntut terus berjuang. Bahkan, Nabi Muhammad mendapat pesan dari Allah, ''Jika mereka berpaling, (ingatlah) Kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).'' (QS Asy-Syura [42]: 48). Kemenangan justru terletak pada keteguhan kita memegang erat tali Allah. Wallahu a'lam.  

Golput, Coblos, Tidak Mau atau Tidak Mampu

Bismillahirrahmanirrahim, Sudah beberapa malam sebut saja Kang Ucup dengan beberapa teman, bertukar pendapat tentang beberapa calon presiden dan beberapa tokoh partai, sekaligus beberapa teman yang juga turut mencalonkan diri mereka sebagai caleg lewat beberapa partai yang ada.

Pusing juga karena jujursaja, Kang Ucup kurang pengetahuan tentang tokoh dan partai yang dibicarakan. Seringkali semua hanya mendengar dari teman saya—yang katanya dari sumber yang bisa dipercaya.
Lucunya, alih-alih menimbang-nimbang prestasi atau pencapaian terbaik para calon atau sepak terjang partai, tapi yang ada infonya (jika akurat disebut info, tapi ini mungkin lebih tepat disebut “kabarburung”) adalah kecurangan, manipulasi, kebohongan publik, pencitraan karakter, dan kebusukan lain dan sebangsanya. 

Walaupun selembaran, bahkan proyektor pun sudah turut membantu mencoba meyakinkan tapi walhasil diskusi semakin tak tentu arah karena terasa bercampur dengan data yang semakin sulit untuk dipercaya. Malah akhirnya Kang Ucup takut bahasan menjadi ghibah apalagi fitnah, yang di ujungnya semakin mencarut-marutkan pertimbangan partai mana, caleg mana, dan nantinya tokoh mana yang akan dijagokan.

Namun dengan dorongan fatwa harus memilih dari para ulama, juga desakan jika boleh disebut larangan golput (karena bukan lagi imbauan). Membuat Kang Ucup harus memilih, ya mengerahkan daya upaya untuk menjatuhkan pilihan. Menggunakan amanah dengan sebaik-baiknya. Namun jika boleh, dia ingin menitipkan suaranya, amanahnya, hak pilihnya kepada yang lebih paham, yang tahu betul, ahlinya dalam menentukan pilihan. 

Sebab, Kang Ucup bukan tidak mau, tapi mungkin tidak mampu. Boleh jadi bukan Kang Ucup saja yang merasa sepertiini. Tapi mungkin juga kita dan puluhan, ratusan, bisa jadi ribuan bahkan jutaan orang yang sebenarnya tidak mampu menggunakan hak pilihnya. Adakah sistem yang lain yang bisa menjadi solusi atau jalan keluarnya?

Melayang lamunan jauh ke zaman kekhalifahan. Sebelum Khalifah Umar wafat, ia telah membentuk sebuah dewan formatur yang bertugas untuk memilih khalifah baru. Dewan tersebut terdiri dari Ustman bin Affan, Ali bin AbiThalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin AbiWaqqash.

Setelah Umar bin Khatab, wafat dewan yang telah dibentuk tersebut mengadakan rapat, dan dari keenam dewan tersebut empat diantaranya mengundurkan diri dan tinggallah dua calon kuat yakni, Ustman bin Affan dan Ali bin AbiThalib. Namun demikian, karena kedua orang yang sangat mulia ini tidak gila kekuasaan dan jabatan, mereka pun saling mempersilahkan dan beranggapan bahwa mereka tidak lebih baik dari yang lainnya. 

Sehingga Ali menunjuk Ustman sebagai khalifah dan begitu juga sebaliknya. Karena kejadian tersebut Abdurrahman bin Auf meminta kepada dewan formatur agar rapat ditunda, dengan tujuan menanyakan persetujuan masyarakat ketikaitu. Dan pada akhirnya, Ustman yang menjadi khalifah pengganti Umar bin Khattab.

Ah, betapa nikmatnya mempunyai pemimpin-pemimpin saleh seperti itu. Betapa amanahnya mereka sampai tidak menyusahkan rakyatnya walaupun dalam hal pemilihan pemimpin. Bisakah Negara kita suatu saat seperti itu?

Ya Allah, kami rindu pemimpin sebijak Abubakar, setegas Umar bin Khattab, sesantun Utsman bin Affan dan secerdas Ali bin AbiThalib. Hadirkan pemimpin seperti itu ditengah-tengah kami. Ya Rabb, jika kami memilih, tuntunlah pilihan kami kepada mereka yang akan menegakkan agama-Mu. Namun jika pilihan kami jatuh pada orang yang salah, tobatkanlah-sadarkanlah-salehkanlah mereka yang kami pilih.Ya Rabb, perbaikilah kehidupan kami semua.

Insya Allah, setelah doa tersebut, Kang Ucup akhirnya siap menentukan pilihan, siap mencoblos. Tibalah waktunya. “Mana kartu undangan Bapak?” tanya Kang Ucup kepada pembantu dirumahnya. 

“Maaf, Pak. Tadi sudah saya tanya ke Pak RT kampung depan, untuk Bapak belum ada” jawabnya. 

Weleh-weleh lemes, ini golput bukan karena tidak mau atau tidak mampu milih, tapi karena belum terdaftar. Maklum kompleks perumahan baru *tepokjidathehe. (mestinya judulnya balada Kang Ucup ya).

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.
Celoteh Kang Erick - Republika

Sertifikasi Akhlak, Gelar Ustaz & Dunia Instan

Bismillahirrahmanirrahim, Judul ini adalah bagian dari kepingan mimpi “dunia instan”. Dunia yang di dalamnya semua mesti melakukan percepatan. Awalnya boleh jadi bagus, dengan konsep efisiensi dan efektivitas. Namun, lama-lama akhirnya melampaui batas. Dengan konsep percepatan yang melampaui batas maka kemasan tidak lagi mencerminkan isinya.

Buah dengan kulit yang indah pun, tidak terasa rasa manisnya ketika ternyata hasil proses “karbitan”. Memang sering kali hasil karbitan atau proses instan banyak lobang atau kopong di beberapa bagiannya. Dia tidak utuh secara hasil selayaknya buah ranum yang matang di pohonnya.


Begitu pula dengan akhlak, dia adalah hasil persemaian antara ilmu dan iman. Amal perbuatan adalah representasi dari akhlaknya. Penggodokan antara teori dan implementasinya. Diperlukan proses yang  tidak instan.


Jika dilihat dari sudut etimologi, “akhlak” berasal dari kata jamak “khuluqun” yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan (al-adat), perangai, tabi’at (al-sajiyyat), watak (al-thab), adab/sopan-santun (al-muru’at) dan agama (ad-din). Sedangkan kata “kholqun” yang berarti kejadian, erat hubungannya dengan “khaliq” (pencipta) dan “makhluq” (yang diciptakan). 


Dapat dipahami juga bahwa akhlak ialah gambaran batin manusia yaitu cerminan jiwa dan sifat-sifatnya. Artinya, akhlak mencakup segala sesuatu hal yang akan tercermin dari perilaku kesehariannya baik akhlak terhadap Sang Khalik atau “hablum min Allah”, juga akhlak terhadap sesama makhluk “hablum minan naas”. 


Yang menarik adalah menurut ulama akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Dikarenakan akhlak tersebutlah seseorang mampu melakukan hal baik atau sebaliknya, tanpa melalui proses pertimbangan akal dan emosi. 


Jadi, apa yang biasa diingat atau dilakukan itulah yang spontan akan muncul. Dan perilaku spontan tersebut akan muncul dalam keseharian, lalu ketika menjadi kebiasaan maka dia akan membentuk kepribadian. 


Menyambung fenomena gelar ustaz yang sekarang mencuat kepermukaan. Dimana gelar ustaz dahulu murni berasal dari pengakuan masyarakat  yang disematkan bukan karena ilmu agamanya saja tetapi juga teladan akhlaknya. Dan pada saat zaman instan ini sering kali medialah yang berperan aktif dalam memberikan gelar tersebut.


Ya, dikarenakan industrialisasi dakwah bahkan dunia dakwah pun terseret kepada proses yang instan. Tidak mempersalahkan tetapi hanya mengingatkan media harus lebih berhati-hati dalam menyematkan gelar tersebut, dan sebaliknya seseorang  yang telah diberi amanah gelar tersebut mesti lebih ekstra berhati-hati.


Namun, jika kemudian ada usulan untuk mensertifikasi gelar ustaz, sebagaimana dahulu ada usulan mensertifikasi gelar haji. Bisakah kita mensertifikasi akhlak? Memang standarisasi mesti ada, tapi ada  rasa khawatir. Jangan-jangan akan muncul paket-paket kilat kursus akhlak bersertifikat. 


Karena tidak ada yang lebih baik dari ustaz dengan jamaahnya, tidak lebih baik guru dengan muridnya, tidak juga pimpinan dan anak buahnya, direktur dan karyawannya, profesor dan mahasiswanya, presiden dan rakyatnya. Karena yang lebih baik disisi Allah adalah yang  mengamalkan perintah Allah SWT (surah al-Mulk: 2). Semoga kita termasuk orang-orang yang  mengamalkan perintah Allah. Amin.


Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.


Celoteh Kang Erick Yusuf - Republika