Selasa, 30 Maret 2010

Yang Berbahagia, Waktu, dan Tempat Dipersilakan

Oleh Akhmad Saefudin.

Hampir setiap akhir pekan penulis menyimak acara di sebuah saluran televisi swasta. Dengan penuh rasa percaya diri, seorang pembawa acara tampil seraya mengucapkan kalimat: “Hadirin di studio dan segenap pemirsa di rumah, pada malam yang berbahagia ini kita akan menyaksikan penampilan ….” Pada acara lain, penulis menemukan kalimat serupa, yakni: “Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya akan menemani pemirsa di rumah 1/2 jam ke depan ….” Sekilas, frasa “malam yang berbahagia” dan “kesempatan yang berbahagia” pada kedua kalimat di atas terkesan baik-baik saja alias tak bermasalah. Namun, jika sedikit jeli, kita akan menemukan ketidaklogisan dari kedua frasa tersebut.

Ketidaklogisan yang dimaksud akan tampak nyata apabila kita sandingkan dengan (struktur) kalimat bahasa asing. Simaklah beberapa contoh kalimat bahasa Inggris berikut:

  1. The program was boring. She (Anita) got bored then. (Acara itu membosankan. Anita pun merasa bosan).
  2. The work was so tiring. He (Tono) felt tired soon. (Pekerjaan itu sangat melelahkan. Tono merasa cepat lelah.)
  3. The service was satisfying. We were all satisfied. (Pelayanannya memuaskan. Kita semua merasa puas.)

Pasangan kata boring-bored, tiring-tired, dan satisfying-satisfied dalam kalimat di atas adalah adjektiva (kata sifat). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adjektiva adalah kata yang menjelaskan nomina atau prominal.

Kata boring, tiring, dan satisfying adalah adjektiva yang menerangkan (nomina) program, work, dan service. Di sisi lain, bored, tired, dan satisfied juga merupakan bentuk adjektiva — masing-masing menerangkan (pronominal) She (Anita), He (Tono), dan We.

Dari penjelasan ini, maka kedua frasa bermasalah di atas perlu direvisi agar taat asas atau sesuai kaidah yang berlaku. Kedua frasa tersebut seharusnya berbunyi: (1) “malam yang membahagiakan” dan (2) “kesempatan yang membahagiakan”.

Ingat! Kata malam dan kesempatan adalah nomina bukan pronomina. Lantas bagaimana dengan kata bahagia?

Setidaknya ada dua makna kata berbahagia, yakni (1) dalam keadaan bahagia; (2) menikmati kebahagiaan. Dalam hal ini, keduanya adalah verba, sehingga yang (semestinya) berbahagia adalah pronominal, bukan nomina. Alhasil, yang dapat merasakan “kebahagiaan” adalah makhluk bernyawa, seperti Anda, saya, atau kita.

Contoh kekeliruan lain yang sering kita dengar dari seorang pembawa acara (Master of Ceremony; MC) dalam berbagai kesempatan adalah, “Kepada Bapak Drs. Anu selaku pembicara, waktu dan tempat kami persilakan ….”

Kekeliruan itu sering terjadi karena adanya tambahan kata “waktu” dan “tempat” yang disejajarkan dengan Bapak Drs. Anu. Logikanya, yang dipersilakan hanyalah orang (persona), bukan keterangan (adverbia) ataupun benda mati (nomina) seperti “waktu”, “tempat”, dan sebagainya.

Adapun kalimat yang benar cukuplah, “Kepada Bapak Drs. Anu selaku pembicara, kami persilakan ….” Bandingkan dengan contoh, “Kepada Drs. Anu, Dra. Ani, dan Dr. Andi selaku pembicara, kami persilakan ….”

Kalau mau lebih ringkas, kedua klausa di atas masih dapat dipersingkat menjadi: (1) “Kepada Bapak pembicara, dipersilakan”. dan (2) “Kepada ketiga pembicara, dipersilakan”. Ungkapan “dipersilakan” juga dapat kita ubah menjadi “dengan hormat kami persilakan”, misalnya.

Alhasil, berbahasa boleh dibilang gampang-gampang susah. Tetapi, jika kita mau mencermatinya dengan logika, hal demikian tidaklah sulit. Ternyata, berbahasa lisan pun butuh kecermatan dan kejelian, bukan?

Serangan Jantung

Oleh Lie Charlie, Sarjana Bahasa Indonesia.

FRASE serangan jantung (heart attack) cukup sering kita dengar dan baca. Karena sering mendengar dan membaca frase ini serta merasa kurang-lebih sudah memahami maknanya, kita tidak pernah mempertanyakan lagi kalau-kalau frase tersebut dapat ditafsirkan berbeda. Serangan jantung selama ini dimaknai sebagai penyakit yang menyerang jantung. Ada kalanya korban meninggal dunia, termasuk Michael Jackson (25 Juni 2009) dan Mbah Surip (4 Agustus 2009).

Coba ucapkan dalam hati perlahan-lahan: s e r a n g a n… j a n t u n g… Bukankah kata-kata ini juga bisa berarti jantung menyerang kita, selain bermakna penyakit menyerang jantung atau jantung diserang (sesuatu)? Bukankah serangan musuh artinya serangan yang dilakukan musuh? Apabila ditarik garis korelasi vertikal ke atas, kata serangan, baik dalam frase serangan jantung maupun serangan musuh, kedua-duanya bermuara pada kata kerja serang atau menyerang.

Sesungguhnya frase serangan jantung memang mengacu kepada pengertian serangan kepada/terhadap jantung, tetapi dapat ditafsirkan bermakna serangan yang dilakukan jantung. Serangan jantung merupakan hasil terjemahan dari frase bahasa Inggris heart attack yang relatif tidak akan disalahpahami karena pembentukannya menggunakan kata dasar. Oleh karena itu, heart attack langsung dapat dianggap frase Inggris berkonstruksi MD (menerangkan diterangkan) dalam arti ”serangan yang berhubungan dengan jantung” saja.

Di sini terjadi pemahaman berdasarkan struktur terhadap kata heart attack dan pemahaman yang mengacu kepada makna terhadap frase serangan jantung. Pemahaman yang mengacu kepada makna sering melahirkan salah paham, maka hendaknya kata-kata dipahami secara struktural.

PERHATIKAN bahwa pemahaman berdasarkan makna akan membuat kita memperbedakan kata turunan, contohnya, tulisan (hasil menulis; bukan alat untuk menulis) dengan gantungan (alat/sarana untuk menggantung; bukan hasil menggantung), padahal kedua kata turunan tersebut berkonstruksi sama, ”kata kerja + akhiran -an”. Pada sudut lain, tata bahasa struktural hanya melihat bahwa akhiran -an berfungsi membendakan kata kerja. Titik.

Terakhir, Sudjiwo Tedjo pernah kembali mempermasalahkan kata pimpinan yang selama ini dianggap sering dipergunakan secara tidak tepat. Jika ditelaah dengan pemahaman berdasarkan makna, boleh jadi, kata pimpinan memang bermakna ”hasil memimpin” (bukan ”seseorang yang memimpin”), apalagi dapat diperbandingkan secara analogis dengan kata turunan lain, seperti: asuhan atau bimbingan. Singkatnya, pakailah saja kata pemimpin untuk menyatakan orang/dewan yang memimpin.

Akan tetapi, bukankah kita juga dapat memperbandingkan kata turunan pimpinan dengan kata turunan lain, misalnya, gantungan atau parutan yang berarti alat/sarana/sesuatu yang dipakai untuk melakukan pekerjaan menggantung atau memarut? Sanggahan terakhir barangkali akan menyatakan bahwa kata pimpinan harus dibandingkan dengan kata turunan yang sama-sama berasal dari kata kerja abstrak. Namun ingat, kata ajaran tidak bermakna ”hasil mengajar”, tetapi ”hal yang diajarkan”.

Memahami kata dengan mereka-reka maknanya boleh saja, tetapi memahaminya berdasarkan bentuknya lebih afdal. Pokoknya, akhiran -an berfungsi membendakan kata kerja. Pimpinan adalah kata benda yang berkorelasi dengan kata kerja pimpin; dan artinya bisa ”hasil memimpin” atau ”sesuatu (benda) yang memimpin”. Serangan adalah kata benda yang berkorelasi dengan kata kerja serang dan artinya dapat ditafsirkan lebih dari satu, tetapi pasti berhubungan dengan hal menyerang.

Menyoal Bahasa Gaul

Oleh Ferdinaen Saragih, Mahasiswa Sastra Indonesia UPI Bandung. Penulis esai, puisi, dan cerpen.

Dewasa ini penggunaan bahasa Indonesia (BI) kian digeser oleh bahasa gaul, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia media. Interferensi bahasa gaul (bahasa slang) bahkan muncul dalam penggunaan BI pada situasi resmi.

Secara harfial istilah gaul berarti “hidup berteman” (KBBI Edisi Ketiga. Balai Bahasa. 2005) Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya anak tongkrongan yang biasanya kental dengan bahasa etnis betawi. Lambat bahasa gaul dianggap lebih bergengsi karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat Ibu kota (etnis Betawi) dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khususnya remaja secara psikologis ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa gaul.

Ditambah dengan peran media (elektronik) lebih senang menggunakan istilah bahasa gaul dalam film-film khususnya film remaja. Artinya bahasa gaul tidak hanya terjadi karena kontak langsung antara masyarakat itu sendiri, tapi sebagian besar karena “disuapi” oleh media. Padahal media massa memiliki peran besar dalam perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang yang telah ada.

Ironis memang, jika dulu media (media cetak) begitu bangga dengan bahasa Indonesia. Media turut serta menyebarkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa kebanggaan, tetapi sekarang peran media dipertanyakan? Akan tetapi kita masih bersyukur karena tidak semua media berperan dalam meruntuhkan penggunaan BI. Beberapa media masih tetap memegang teguh idealismenya. Umumnya media-media cetak yang memiliki idealisme tinggi terhadap bahasa Indonesia.

Di samping itu, dunia pendidikan tentu sangat memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia, namun sayangnya tidak jarang siswa bahkan pengajar sendiri memandang remeh bahasa indonesia itu sendiri. Bahasa indonesia seolah dinomorduakan. Pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Artinya tidak didasari kecintaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Siswa tidak dididik untuk sadar akan pentingnya bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan cara pengajaran pendidik. Pengajar kurang bisa mendorong siswa untuk secara langsung mengaplikasikan teori-teori bahasa secara langsung. Misalnya dengan menulis. Dengan menulis siswa dapat belajar mengenai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan memilih kata-kata yang sesuai dengan pembakuan bahasa. Bukankah cerminan seseorang dapat dilihat dari segi bahasanya. Bahkan lebih jauh lagi, bangsa yang berbudaya luhur adalah bangsa yang menjunjung tinggi bahasanya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan akan dibawa ke mana bahasa Indonesia tercinta ini? Apakah kita akan terus terlarut dalam intervensi bahasa asing dan bahasa gaul yang kian meruntuhkan integritas bahasa indonesia itu sendiri? Jawabannya ada pada kita sebagai bangsa yang mencintai bangsanya dan bahasanya.

Di satu sisi memang bahasa itu adalah hak dari penuturnya. Terserah penutur ingin menggunakan bahasa apa. Akan tetapi bahasa itu seperti layaknya manusia, bahasa bisa hidup dan bisa juga mati. Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia itu mati. Mungkin memang kekhawatiran itu masih jauh. Saya yakin bahasa indonesia akan terus hidup dengan catatan kita terus menyaring intervensi dari bahasa asing dan bahasa gaul.

Sebagaimana dengan hakikat bahasa itu sendiri, bahwa bahasa itu dinamis. Bahasa itu terus berkembang, baik secara kontak sosial secara langsung maupun tidak langsung. Bahasa indonesia pun demikian. Keterbukaan perlu untuk membuat agar bahasa indonesia menjadi bahasa yang mumpuni, artinya bahasa Indonesia tidak hanya dijadikan sebagai bahasa alat komunikasi semata, tetapi juga sebagai bahasa pendidikan. Di situlah mengapa beberapa istilah asing oleh Badan Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diindonesiakan.

Sesungguhnya adanya istilah bahasa asing di dalam bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak buruk terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Hal itu juga bisa memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi tetap perlu adanya kontrol agar penggunaan istilah asing tersebut proporsional.

Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap integritas bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, juga menjadi sesuatu kebanggaan kita di kalangan masyarakat dunia.

Dengan kepedulian pihak-pihak yang berpengaruh memengaruhi eksistensi bahasa Indonesia yang baik dan benar tersebut, bahasa Indonesia dapat selalu memegang komitmennya, sesuai dengan tata bahasa dan KBBI yang sudah ada.

Hadiah dan Kusala

Oleh Anton M Moeliono, Pereksa Bahasa, Guru Besar Emeritus UI.

Jumat pekan lalu, 12 Maret, Saudara Salomo Simanungkalit membahas Piala Oscar yang bukan piala, melainkan patung atau arca. Oscar itu merupakan suatu Academy Award yang setiap tahun diberikan bagi industri film untuk beberapa kategori, seperti aktor dan aktris terbaik, sutradara dan film yang terbaik. Penghargaan itu diberikan untuk prestasi yang sangat menonjol.

Setakat ini memang belum ada kemantapan bagaimana mengindonesiakan kata award. Marilah kita bertolak dari jangkauan unsur kosakata Inggris yang bertalian dengan award. Jika kita senaraikan kata itu, terdapat tiga kelompok berikut:

  1. award, reward, prize, present, gratuity;
  2. honor, respect, appreciation, appraisal;
  3. gift, grace, mercy, endowment, compassion.

Untuk golongan (1) dalam kehidupan sehari-hari dapat dipakai kata hadiah.

Untuk golongan (2) yang mengilatkan sikap hormat dan menghargai dapat dipakai kata penghargaan.

Untuk golongan (3) yang mencakup pemberian dari Tuhan dan pihak yang tinggi dan berkuasa dapat dipilih anugerah atau nugraha dan karunia atau kurnia.

Karena akhir-akhir ini frekuensi pemakaian kata award lebih tinggi daripada kategori lain yang disebutkan di atas, di sini diajukan neologisme kusala yang di dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno juga berati ’hadiah’. Neologisme adalah suatu istilah linguistik yang berarti kata bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa yang memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata.

Pemakaian kata kusala dalam bahasa kita dapat meningkatkan ketajaman daya ungkap kita karena dapat membedakan kusala dari hadiah. Kita lalu dapat mengacu ke Kusala Akademi, Kusala UI untuk hasil penelitian terbaik. Kusala lalu kita beri makna ’hadiah yang diberikan untuk pencapaian istimewa di bidang tertentu’.

Masih ada trophy yang sudah kita indonesiakan jadi trofi untuk hadiah bagi kemenangan dalam turnamen olahraga.

sumber: rubrikbahasa.wordpress.com

Kota Kata

http://3.bp.blogspot.com/_GRVFqVQY8Z4/Sv2CsdXiwQI/AAAAAAAAAWg/HNjOPm_c5Aw/s320/sitok.jpg

Oleh Sitok Srengenge, Penyair.

PADA mulanya kata, lalu jadilah kota. Begitulah, dalam khazanah cerita rakyat kerap kita temui adegan pemberian nama suatu tempat. Lazimnya sang tokoh bersabda, “Kunamakan tempat ini bla-bla-bla.” Ingat Raden Wijaya, tatkala beristirahat dalam pelarian, ia memetik buah maja dan memakannya. Rasanya pahit. Ia lantas menamai tempat kejadian itu Majapahit dan membangun hunian di sana hingga merekah jadi kota kerajaan.

Sebuah nama dipilih lantaran terkait dengan kenangan, tapi tak jarang juga sebagai harapan. Purwodadi, misalnya, gabungan kata purwa dan dadi, berarti awal kejadian. Purworejo bisa diartikan awal kesejahteraan. Nama sebagai harapan, itulah yang kini kerap digunakan orang untuk menandai suatu tempat. Misal: Bumi Serpong Damai. Kadang nama tempat dipilih untuk memberikan citra agung bagi para penghuninya. Misal: Pesona Khayangan.

Adakalanya kata mengalami perubahan pelafalan dan pergeseran makna. Desa Sala berubah jadi kota sejak Keraton Mataram dipindah dari Kartasura ke desa itu dan diberi nama baru: Surakarta. Nama Sala (ditulis dengan /a/) tidak lenyap dan masih digunakan sampai sekarang, meski mengalami pergeseran. Orang Jawa melisankan vokal /a/ dengan bunyi yang sama dengan /o/ dalam bahasa Indonesia (seperti Dipanegara dibaca Diponegoro). Selanjutnya, bahasa Indonesia menulis vokal /a/ (Jawa) itu dengan huruf /o/, yang bisa diujarkan seperti /o/ pada motor ataupun moto. Kini, dalam tulisan juga lisan, Sala lebih dikenal sebagai Solo-dengan bunyi /o/ seperti pada Oslo.

Lalu bagaimana kita sebut Daerah Istimewa di bagian selatan Jawa itu: Jogjakarta atau Yogyakarta? Majalah Tempo, misalnya, konsisten menulis Yogyakarta, tapi tak sedikit orang, termasuk sebagian warganya, menuliskan Jogjakarta. Sebuah iklan pariwisata: Jogja, never ending Asia!

Mari kita merunut ke awal. Semula kerajaan sempalan Mataram itu bernama Ngajogjakarta Hadiningrat. Diperpendek jadi Jogjakarta, acap disingkat lagi jadi (hanya) Jogja. Keajekan penulisan huruf /j/ itu ternyata mempengaruhi penuturan sebagian orang. Mereka mengucapkannya sebagai Jogja dengan /j/ seperti pada jamak. Padahal, penulisan /j/ itu menggunakan ejaan lama, mestinya diujarkan /y/ seperti pada Yamaha. Jadi, jika konsisten pada pelisanan dan mengikuti pembaruan ejaan, kota itu seyogianya disebut Yogyakarta.

Beda dengan Djajakarta yang bermetamorfosis jadi Jakarta. Jelas, Jakarta adalah bentuk singkat dari Djajakarta. Bisa diduga ada dua kemungkinan proses penyingkatan. Pertama, sebagaimana Ngajogjakarta menjadi Jogjakarta, dengan melenyapkan suku kata awal, Djajakarta menjadi Jakarta. Jika kemungkinan ini yang terjadi dan kita mengikuti perubahan ejaan, mestinya kita menulis ataupun melisankan ibu kota negara kita itu sebagai Yakarta. Bahwa prakteknya kita menyebut Jakarta dengan /j/ seperti pada jagat, berarti telah terjadi perubahan pelafalan akibat pengaruh penulisan yang setia pada ejaan lama. Kedua, penyingkatan dari Djajakarta menjadi Jakarta bisa terjadi akibat peluluhan satu suku kata di tengah. Seperti baharu menjadi baru atau asmaradahana menjadi asmaradana; maka Djajakarta bisa menjadi Djakarta. Disesuaikan dengan ejaan baru, jadilah Jakarta. Jika ini yang terjadi, kemungkinan besar akibat pengaruh percepatan pelisanan, seperti Tanah Abang dalam dialek Betawi menjadi Tenabang.

Dari kata menjelma kota. Di sana bersemayam puja dan doa. Semarang, dari asem dan arang, menahbiskan kondisi suatu tempat berpohon asam jarang. Gunung Kidul menandai wilayah pegunungan di selatan. Surabaya, sebagaimana dinyatakan ikon kota itu, mengenang pertarungan ikan sura dan baya (buaya). Sidoarjo diharap terkabul jadi permai. Tapi, sungguhkah kita peduli? Tanpa kita sadari peralihan nama kota ternyata tak hanya mengubah, tapi bisa meniadakan, maknanya semula.

Pada kasus Ngajogjakarta yang berarti mematut kota atau membangun kota, menjadi Yogyakarta yang bermakna kota yang patut atau kota yang layak, terjadi sedikit pergeseran makna. Untung kedua maknanya tetap baik. Tapi, kenangkanlah, dulu Djajakarta, dari djaja dan karta, bisa berarti kota yang jaya atau kota kemenangan. Kini, Jakarta berarti apa? Jika mau berseloroh, meniru gaya orang Yogya, Jakarta bisa jadi karta ja, berarti sekadar kota.

Memang ada banyak nama kota yang seolah tak bermakna: Blora, Comal, Demak, Trenggalek, dan lainnya. Kita tak tahu riwayatnya atau belum mendapat terang dari kata-kata yang masih bercahaya ataupun yang sudah jadi fosil dalam leksikon. Jika mau mencarinya, mungkin akan kita temukan jejak kenangan dan harapan.


“Perempuan” dan “Wanita”

http://ibnuanwar.files.wordpress.com/2008/05/ajiprosidi.jpg

Oleh Ajip Rosidi, Penulis dan budayawan.

Pada masa pasca-Orde Baru, kata “perempuan” tampil lagi. Tadinya kata tersebut hampir dilupakan karena ada kata “wanita” yang menggantikannya. Pada waktu itu, ada anggapan bahwa kata “perempuan” itu kasar, sedangkan sekarang orang menganggap justru kata “perempuan” yang lebih menghargai kaum yang sering dianggap lemah itu karena berasal dari kata “empu”. Perempuan berarti yang menjadi empu, atau tempat berempu. Sementara itu, kata “wanita” dianggap hanya memandang mereka sebagai objek syahwat laki-laki sejalan dengan ungkapan “tahta, harta, dan wanita” sebagai tujuan hidup dan keberhasilan laki-laki dalam hidup hedonis.

Memang, dalam masa Orde Baru, bahasa Indonesia mengalami proses feodalisme yang intensif, mungkin karena Presiden Soeharto hendak memaksakan kebudayaan Jawa Mataram yang feodal menjadi anutan seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, kepala negara adalah raja dan kehendak raja tak bisa dibantah, para pejabat negara diangkat untuk melaksanakan apa yang dikehendaki sang raja. Sebagai penguasa militer tertinggi, tak sukar baginya untuk memaksakan hal itu. Apalagi pada tahun-tahun awal kepresidenannya beliau dibantu oleh Kolonel Ali Moertopo yang tahu segala macam resep untuk melumpuhkan orang-orang yang beroposisi terhadap sang raja. Berbagai rekayasa dibuat untuk membuat orang-orang yang menentangnya terkencing-kencing di celana.

Dalam bidang bahasa, pengaruh unggah-ungguhing basa dari basa Jawa sedikit demi sedikit namun pasti kian mendalam. Dalam lingkungan kepresidenan, tumbuh bahasa dengan unggah-ungguhing basa, dan karena dalam bahasa Melayu tidak ada kata-kata yang bisa disebut kromo atau kromo inggil, kata-kata dari bahasa Jawa dipinjam sehingga di lingkungan kepresidenan waktu itu orang akan berkata, “Maaf, Bapak belum rawuh“; atau “Bapak ndalemnya di mana?” atau “Putra Bapak berapa orang?” Tentu saja ucapan itu disertai dengan gerak tubuh yang sesuai dengan ketentuan unggah-ungguhing basa Jawa. Dan yang mengikuti gerak-gerik tubuh demikian bukan hanya orang Jawa. Orang-orang luar Jawa, termasuk orang Batak, orang Minang, orang NTT, dan lain-lain yang kebudayaannya berlainan sekali pun dengan sukarela mengikutinya.

Demikianlah kata “perempuan” dianggap kasar. Kata “anak” juga dianggap kasar, diganti dengan “putra” atau “putri”.

Setelah reformasi, kata-kata yang feodalistis demikian cenderung dihindarkan. Kata “perempuan” dipopulerkan lagi, tetapi kata “putra” dan “putri” tampaknya tetap banyak digunakan. Mungkin karena dianggap tidak ada hubungannya dengan persoalan gender.

Tetapi berbahasa feodalistis, terutama di kalangan birokrat, terlanjur sudah melembaga sehingga sampai sekarang juga masih sering terdengar. Ada kawan yang berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena memang jiwa bangsa kita masih bersifat feodalistis. Yang menduduki jabatan di atas merasa wajar kalau dia diperlakukan sebagai raja atau orang besar; sebaliknya orang yang di bawah merasa harus melayani atasannya sebagai mana melayani penguasa yang dianggap menentukan mati hidupnya. Terjadilah tragedi yang seharusnya tidak boleh ada di negara demokrasi: ke atas menjilat, ke bawah menginjak. Meskipun hidup di negara yang katanya demokratis (walaupun Pancasila), orang tidak mempunyai rasa egaliter terhadap sesamanya. Orang menghadapi orang lain tergantung kepada kedudukannya dalam birokrasi atau masyarakat. Orang yang duduk di jenjang kepangkatan yang tinggi dianggap sebagai manusia yang lebih tinggi tingkatnya dari orang yang kedudukannya lebih rendah. Priyayiisme memang masih melekat pada bangsa kita. Itulah yang menyebabkan bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang egaliter, cenderung menjadi bahasa yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.

Memang, dalam setiap bahasa juga ada kata-kata yang khusus menyatakan penghormatan, tetapi jumlahnya hanya beberapa dan biasanya diperuntukkan bagi raja atau orang tinggi-tinggi. Dalam bahasa Melayu kita mempunyai kata “beradu” (tidur), “gering” (sakit), “bersantap” (makan), “bertitah” (berkata), dan beberapa kata lainnya. Kata-kata itu hanya dipakai kalau yang melakukannya adalah raja. Dalam bahasa Inggris ada kata “thou“, “Your Majesty“, “Her/His Majesty“, dan lain-lain yang hanya dipakai terhadap raja atau orang yang berpangkat tinggi.

Akan tetapi, sistem tingkat bahasa (unggah-ungguhing basa) lebih rumit dari sekadar mempunyai beberapa kata yang khusus untuk raja. Dalam bahasa Jawa dan Sunda, tingkat bahasa itu sudah menjadi sistem yang dipertalikan dengan kedudukan sosial orang yang bicara, orang yang diajak bicara, dan yang dibicarakan. Apakah sama tingkat, apakah lebih tinggi ataukah lebih rendah. Untuk masing-masing ada seperangkat kata-kata yang sama sekali tak boleh dipertukarkan. Kalau dalam berbicara kita melakukan kesalahan dengan mempertukarkan kata-kata untuk bahasa kasar dengan kata-kata untuk bahasa halus atau sebaliknya, kita akan dianggap kampungan, bukan sekolahan, tak beradab, tidak tahu sopan santun, dan lain-lain. Kita diejek dan ditertawakan. Kita mendapat hukuman sosial yang menyebabkan kita merasa malu.

Dalam masyarakat demokrasi, tentu saja sistem berbahasa seperti itu bertentangan dengan keegaliteran sesama manusia. Islam yang menganggap setiap manusia sama di hadirat Allah SWT kecuali ketakwaannya, niscaya tidak dapat menerima pandangan yang membeda-bedakan manusia berdasarkan darah dan kedudukan sosialnya.


sumber: rubrikbahasa.wordpress.com

Rendra, Merendra, Munir, Memunir

http://hagemman.files.wordpress.com/2009/09/eep-sf.jpg

oleh Eep Saefulloh Fatah, Pemerhati politik dari Universitas Indonesia

DI tengah hiruk-pikuk pemakaman Wahyu Sulaiman Rendra, 7 Agustus lampau, di Kampus Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok, saya tercenung. Mengapa pentakziah tak semembeludak khalayak yang datang pada pemakaman Mbah Surip beberapa hari sebelumnya di tempat sama?

Tapi, segera saya menemukan jawabannya: Mbah Surip meninggal sebagai seorang selebritas, sementara Rendra sebagai orang besar. Selebritas menjadi terkemuka karena namanya. Orang besar terpandang karena jejaknya pada zaman.

”Selebritas,” tulis sejarawan pemenang hadiah Pulitzer, Daniel J. Boorstin (The Image, 1992), ”adalah seseorang yang dikenal karena keterkenalannya. Pahlawan dikenali karena prestasi atau pencapaiannya, sementara selebritas karena citra atau merek dagangnya. Pahlawan membentuk dirinya, selebritas dibentuk oleh media. Pahlawan adalah orang besar, selebritas adalah sebuah nama besar.”

Tentu saja saya tak ingin mengecilkan Mbah Surip dan membesarkan Rendra dalam sebuah perbandingan hitam-putih. Namun, pada sosok Rendra, aspek kepahlawanan lebih menonjol ketimbang selebritas.

Maka, sekalipun tak semembeludak khalayak pemakaman Mbah Surip, pemakaman Rendra dihadiri beragam kalangan: dari orang awam kesusastraan hingga pujangga-pujangga terbaik di Republik, dari orang biasa hingga segelintir orang yang membawa serta atribut kekuasaannya yang mentereng.

Rendra dilepas oleh mereka yang takzim. Mbah Surip dilepas oleh para penggemarnya.

Sebagai orang besar Rendra memang meninggalkan jejak yang tegas pada zaman kita. Ia berhasil mewakili daya hidup seorang pelaku kesenian dan kebudayaan yang tak pernah mati, terus bergumul dengan liat melawan segala cobaan zamannya.

Sebagai orang yang bergaul rapat dengannya sejak awal Reformasi, saya beruntung menjadi saksi pergumulan itu. Hasilnya, di mata saya, Rendra tampil sebagai pemenang. Ia senantiasa berdiri tegak di tempatnya: sebagai seorang yang penuh keyakinan akan kebenaran yang dibelanya, tanpa lelah memperjuangkan keyakinan itu, dan menolak menjadi pecundang.

Nama besar pun tersemat pada sosok Rendra. Beberapa kali saya saksikan, alih-alih menjadi selebritas, Rendra lebih membawa serta nama besarnya. Di beberapa tempat, orang-orang tak mengenali wajahnya. Namun, segera setelah diberi tahu bahwa yang sedang mereka temui adalah Rendra, dengan serta-merta mereka menjadi hormat penuh takzim. Rendra dihormati karena jejaknya pada hidup dan zaman kita—bukan lantaran wajahnya terpampang setiap hari di televisi.

Dalam konteks itu, izinkan saya mengusulkan kepada khalayak pembaca untuk menjadikan ”rendra” sebagai kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Sebagai kata sifat, ”rendra” bermakna sebagai seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang.

Maka, dalam pemaknaan itu, suatu ketika kita bisa menulis, ”Almarhum Baharuddin Lopa adalah seorang rendra” atau ”Dengan sikap rendranya Dr Utami Roesli bergeming menolak konsumsi susu formula untuk bayi.”

”Rendra” juga bisa diberi imbuhan tertentu untuk kemudian menjadi kata kerja, dengan makna serupa: merendra, direndrakan, direndrai, merendrakan. Maka, kita bisa menulis kelak, ”Suciwati dan Usman Hamid adalah seorang pembela hak-hak asasi manusia yang semakin matang dan merendra.”

Selain Rendra, almarhum Munir adalah tokoh yang namanya layak dipinjam untuk memperkaya bahasa Indonesia.

Kata ”munir” saya usulkan kepada khalayak pembaca untuk dimaknai sebagai ”seseorang atau sekelompok orang yang tak punya rasa takut karena yakin berada di jalan yang benar”. Manakala diberi imbuhan tertentu, ”munir” menjadi kata kerja (memunir, dimunirkan, dimuniri, atau memunirkan) dengan pemaknaan sama.

Itulah antara lain yang berkelebat dalam pikiran saya di tengah larut duka pemakaman Rendra tempo hari. Maka, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, Rendra dan Munir pergi meninggalkan bahasa Indonesia yang semakin kaya.

Tapi, boleh jadi ada di antara pembaca yang bertanya, mengapa saya meminta khalayak untuk bersepakat menambahkan dua kosakata baru itu. Mengapa saya tak meminta Pusat Bahasa?

Bahasa, dalam pikiran saya, senantiasa merupakan hasil konsensus para penggunanya. Maka kelahiran kosakata baru selayaknya lahir dari rahim para pengguna bahasa itu. Adapun Pusat Bahasa ”sekadar” bidan yang membantu persalinan hingga selamat. Tak lebih dan tak kurang.

Walhasil, Pusat Bahasa dibutuhkan sebagai pelayan konsensus kebahasaan. Pusat Bahasa bukanlah lembaga birokrasi yang bertugas menjauhkan bahasa dari publik sebagai ibu kandungnya.

Kisah-Kisah Inspiratif Pembangkit Motivasi & Pemakna Hidup

Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia: Kisah-Kisah Inspiratif  Pembangkit Motivasi & Pemakna Hidup

Kisah-kisah yang ditulis dalam buku ini, sesungguhnya adalah kisah Jamil sendiri. Sebuah rangkaian kisah yang telah dijalani oleh seseorang yang kaya dengan perspektif, kaya perjalanan batin, dan sarat dengan inspirasi. Kisah-kisahnya mampu menggerakkan hati Anda untuk berbuat lebih baik bagi hidup Anda dan orang lain.
Melalui cerita-cerita yang dituturkan dengan sangat menarik dan menyentuh kalbu ini, kita akan diantar menapaki jalan menuju sukses-mulia. Bagi Jamil, sukses belaka tidaklah cukup. Dia sudah mengalami sendiri dan menyaksikan banyak orang yang telah "sukses" namun tidak merasakan kebahagiaan dalam batinnya. Perjalanan dan perenungan hidupnya mengantar pada pelajaran hidup yang dalam bahwa sukses sejati haruslah mengandung kemuliaan di dalamnya.

Selling Points:
+ Jamil mempunyai fans yang luar biasa banyak berkat buku pertamanya Kubik Leadership.
+ Cerita-ceritanya ringan, tapi sangat mampu menyentuh hati dan mendorong kita untuk berbuat sesuatu.

"Ketika pertama kali Jamil tampil di SmartFM, saya sudah menduga ia akan menjadi story teller Indonesia yang jempolan. Di buku ini, Jamil menuturkan pengembaraan pikiran dan hatinya yang membuahkan kemuliaan bukan hanya untuk dirinya, tapi juga pendengar dan pembacanya."
--Fachry Mohammad

Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia

New Edition Menyemai Impian

Buku ini ditulis oleh seorang inspirator yang memiliki energi besar dalam membangkitkan semangat dan motivasi Anda menjadi seorang yang tidak sekadar sukses, tetapi juga mulia dalam kehidupan. Dengan gaya story telling yang menggambarkan potret perjuangan hidupnya, ia menyadarkan kita bahwa setiap insan akan meraih kesuksesan yang ia inginkan sejauh ia yakin bahwa dirinya memang akan sukses. Dengan bahasa apa adanya, Jamil Azzaini juga memberikan contoh praktis tentang arti sebuah perbuatan melalui Energi Positif (Epos) hingga mengantarkan seseorang pada sebuah kesuksesan dan kemuliaan hidup.

Inspirasi Sukses Mulia adalah kekuatan yang dimiliki oleh Jamil Azzini yang akan membuat Anda terus berkarya dan memberi manfaat untuk orang-orang di sekitar Anda.

Ditulis dengan begitu renyah dan nyata, senyata kehidupan kita, rangkaian kisah yang akan menjadi pelajaran bagi kita ini terangkum dalam:
- Anak Desa Menjemput Impian
- Penghambat Sukses
- Belajarlah dari Siapa Pun
- Cinta dan Keluarga
- Meraih Sukses-Mulia
-Yang Ditanam Itulah yang Dituai
- Menjaga Hasil yang Dituai

Tuhan, Inilah Proposal Hidupku

Tuhan, Inilah Proposal Hidupku

Banyak orang mengatakan hidup itu mengalir saja, toh nanti akan sampai ke laut juga. Benarkah? Tidak semua air, kalau dibiarkan, akan mengalir ke laut. Seperti air, aliran hidup kita pun, kata Mas Jamil, harus diarahkan melalui sebuah proposal hidup. Ia mencontohkan dirinya yang menyusun sendiri proposal hidupnya untuk sekian tahun ke depan, termasuk capaian dan lompatan-lompatan hidup yang akan dituju. Serinci mungkin, sedetil mungkin, sedemikian rupa sehingga arah hidup kita menjadi jelas. Proposal itu dibuat untuk menuntunnya menggapai prestasi tertinggi yang bisa dibanggakan di hadapan Allah.

Seorang filsuf, Jim Rohn mengatakan "Anda tidak bisa menyewa orang lain agar berolahraga untuk Anda," Anda harus melakukan sendiri jika ingin memperoleh manfaat dari olah raga. Andapun tidak akan mampu meraih keberhasilan hidup apabila menyerahkan hidup Anda kepada orang lain. Andalah yang menentukan hidup Anda sendiri. Andalah yang harus menjalani hidup Anda sendiri. Dan untuk itu Anda perlu membuat sebuah proposal hidup sebagai kompas hidup Anda.

Jamil akan membantu Anda memberi peta jalannya, tetapi Andalah yang harus mengendarai mobilnya. Jamil akan menuntun Anda tahap demi tahap tapi Anda sendirilah yang harus berjalan menuju tempat yang dituju. Jika Anda mengerjakannya dengan sunguh-sungguh, saya berjanji, imbalannya akan sangat besar untuk hidup Anda.

Buku ini semacam workbook, lembaran kerja. Anda tidak akan memperoleh banyak manfaat bila hanya membaca namun tidak melakukan aktifitas yang saya minta. Kerjakan secara bertahap dan ikuti instruksinya dengan baik. Apabila Anda mengikuti semua instruksi yang ada di buku ini, begitu Anda selesai membaca dan mengerjakan aktivitas di dalam buku ini maka jadilah itu bahan baku PROPOSAL HIDUP Anda.

Bila ingin hasil yang optimal, tuliskanlah kembali apa yang sudah Anda kerjakan tadi ke halaman akhir dari buku ini. Gabungkan menjadi rangkain tulisan yang berhubungan satu dengan yang lain sehingga jadilah Proposal Hidup Anda. Saya yakin setelah Anda menyusun Proposal Hidup dengan detil sesuai dengan yang saya anjurkan, kehidupan Anda dimasa yang akan datang akan jauh lebih baik daripada apabila Anda tidak menyusunnya.

Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman

Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman

Filsafat Barat mempunyai riwayat panjang yang sudah meliputi 26 abad. Tempat lahirnya Yunani kuno dan tanggal lahirnya abad ke-6 SM. Pada mulanya nama "filsafat" tidak menunjukkan ilmu tertentu saja, tapi dipakai untuk pemikiran ilmiah pada umumnya. Waktu itu "filsafat" dimaksudkan sebagai pemikiran rasional yang bertolak belakang dengan segala pendekatan mitis. Lama-kelamaan ilmu-ilmu lain satu demi satu melepaskan diri dari pendekatan lebih umum yang disebut "filsafat" itu. Buku ini merupakan revisi dari buku Fisafat Barat Abad XX yang terbit pada tahun 1981. Uraian tentang Jeurgen Habermas diperbaharui seluruhnya, karena dalam pemikiran filsuf Jerman ini berlangsung perkembangan penting sejak tahun 1980-an. Perkembangan tentang filsuf-filsuf lain disesuaikan dengan penelitian terbaru mengenai pemikiran mereka.

Etika

Etika

Dalam buku ini Dr. Kees Bertens mangajak Anda untuk menelusuri seluruh wilayah etika. Pertama dibahas tema-tema klasik seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan. Lalu, dibicarakan beberapa teori besar dari sejarah filsafat moral: hedonisme, eudemonisme utilitarisme, dan, deontologi. Akhirnya disajikan sekadar pengantar pada "etika terapan", artinya, etika yang menyoroti bidang-bidang khusus seperti dunia kedokteran, praktek bisnis, lingkungan hidup, dan lain-lain.