Minggu, 20 April 2014

Golput, Coblos, Tidak Mau atau Tidak Mampu

Bismillahirrahmanirrahim, Sudah beberapa malam sebut saja Kang Ucup dengan beberapa teman, bertukar pendapat tentang beberapa calon presiden dan beberapa tokoh partai, sekaligus beberapa teman yang juga turut mencalonkan diri mereka sebagai caleg lewat beberapa partai yang ada.

Pusing juga karena jujursaja, Kang Ucup kurang pengetahuan tentang tokoh dan partai yang dibicarakan. Seringkali semua hanya mendengar dari teman saya—yang katanya dari sumber yang bisa dipercaya.
Lucunya, alih-alih menimbang-nimbang prestasi atau pencapaian terbaik para calon atau sepak terjang partai, tapi yang ada infonya (jika akurat disebut info, tapi ini mungkin lebih tepat disebut “kabarburung”) adalah kecurangan, manipulasi, kebohongan publik, pencitraan karakter, dan kebusukan lain dan sebangsanya. 

Walaupun selembaran, bahkan proyektor pun sudah turut membantu mencoba meyakinkan tapi walhasil diskusi semakin tak tentu arah karena terasa bercampur dengan data yang semakin sulit untuk dipercaya. Malah akhirnya Kang Ucup takut bahasan menjadi ghibah apalagi fitnah, yang di ujungnya semakin mencarut-marutkan pertimbangan partai mana, caleg mana, dan nantinya tokoh mana yang akan dijagokan.

Namun dengan dorongan fatwa harus memilih dari para ulama, juga desakan jika boleh disebut larangan golput (karena bukan lagi imbauan). Membuat Kang Ucup harus memilih, ya mengerahkan daya upaya untuk menjatuhkan pilihan. Menggunakan amanah dengan sebaik-baiknya. Namun jika boleh, dia ingin menitipkan suaranya, amanahnya, hak pilihnya kepada yang lebih paham, yang tahu betul, ahlinya dalam menentukan pilihan. 

Sebab, Kang Ucup bukan tidak mau, tapi mungkin tidak mampu. Boleh jadi bukan Kang Ucup saja yang merasa sepertiini. Tapi mungkin juga kita dan puluhan, ratusan, bisa jadi ribuan bahkan jutaan orang yang sebenarnya tidak mampu menggunakan hak pilihnya. Adakah sistem yang lain yang bisa menjadi solusi atau jalan keluarnya?

Melayang lamunan jauh ke zaman kekhalifahan. Sebelum Khalifah Umar wafat, ia telah membentuk sebuah dewan formatur yang bertugas untuk memilih khalifah baru. Dewan tersebut terdiri dari Ustman bin Affan, Ali bin AbiThalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin AbiWaqqash.

Setelah Umar bin Khatab, wafat dewan yang telah dibentuk tersebut mengadakan rapat, dan dari keenam dewan tersebut empat diantaranya mengundurkan diri dan tinggallah dua calon kuat yakni, Ustman bin Affan dan Ali bin AbiThalib. Namun demikian, karena kedua orang yang sangat mulia ini tidak gila kekuasaan dan jabatan, mereka pun saling mempersilahkan dan beranggapan bahwa mereka tidak lebih baik dari yang lainnya. 

Sehingga Ali menunjuk Ustman sebagai khalifah dan begitu juga sebaliknya. Karena kejadian tersebut Abdurrahman bin Auf meminta kepada dewan formatur agar rapat ditunda, dengan tujuan menanyakan persetujuan masyarakat ketikaitu. Dan pada akhirnya, Ustman yang menjadi khalifah pengganti Umar bin Khattab.

Ah, betapa nikmatnya mempunyai pemimpin-pemimpin saleh seperti itu. Betapa amanahnya mereka sampai tidak menyusahkan rakyatnya walaupun dalam hal pemilihan pemimpin. Bisakah Negara kita suatu saat seperti itu?

Ya Allah, kami rindu pemimpin sebijak Abubakar, setegas Umar bin Khattab, sesantun Utsman bin Affan dan secerdas Ali bin AbiThalib. Hadirkan pemimpin seperti itu ditengah-tengah kami. Ya Rabb, jika kami memilih, tuntunlah pilihan kami kepada mereka yang akan menegakkan agama-Mu. Namun jika pilihan kami jatuh pada orang yang salah, tobatkanlah-sadarkanlah-salehkanlah mereka yang kami pilih.Ya Rabb, perbaikilah kehidupan kami semua.

Insya Allah, setelah doa tersebut, Kang Ucup akhirnya siap menentukan pilihan, siap mencoblos. Tibalah waktunya. “Mana kartu undangan Bapak?” tanya Kang Ucup kepada pembantu dirumahnya. 

“Maaf, Pak. Tadi sudah saya tanya ke Pak RT kampung depan, untuk Bapak belum ada” jawabnya. 

Weleh-weleh lemes, ini golput bukan karena tidak mau atau tidak mampu milih, tapi karena belum terdaftar. Maklum kompleks perumahan baru *tepokjidathehe. (mestinya judulnya balada Kang Ucup ya).

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.
Celoteh Kang Erick - Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar