Minggu, 20 April 2014

Sertifikasi Akhlak, Gelar Ustaz & Dunia Instan

Bismillahirrahmanirrahim, Judul ini adalah bagian dari kepingan mimpi “dunia instan”. Dunia yang di dalamnya semua mesti melakukan percepatan. Awalnya boleh jadi bagus, dengan konsep efisiensi dan efektivitas. Namun, lama-lama akhirnya melampaui batas. Dengan konsep percepatan yang melampaui batas maka kemasan tidak lagi mencerminkan isinya.

Buah dengan kulit yang indah pun, tidak terasa rasa manisnya ketika ternyata hasil proses “karbitan”. Memang sering kali hasil karbitan atau proses instan banyak lobang atau kopong di beberapa bagiannya. Dia tidak utuh secara hasil selayaknya buah ranum yang matang di pohonnya.


Begitu pula dengan akhlak, dia adalah hasil persemaian antara ilmu dan iman. Amal perbuatan adalah representasi dari akhlaknya. Penggodokan antara teori dan implementasinya. Diperlukan proses yang  tidak instan.


Jika dilihat dari sudut etimologi, “akhlak” berasal dari kata jamak “khuluqun” yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan (al-adat), perangai, tabi’at (al-sajiyyat), watak (al-thab), adab/sopan-santun (al-muru’at) dan agama (ad-din). Sedangkan kata “kholqun” yang berarti kejadian, erat hubungannya dengan “khaliq” (pencipta) dan “makhluq” (yang diciptakan). 


Dapat dipahami juga bahwa akhlak ialah gambaran batin manusia yaitu cerminan jiwa dan sifat-sifatnya. Artinya, akhlak mencakup segala sesuatu hal yang akan tercermin dari perilaku kesehariannya baik akhlak terhadap Sang Khalik atau “hablum min Allah”, juga akhlak terhadap sesama makhluk “hablum minan naas”. 


Yang menarik adalah menurut ulama akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Dikarenakan akhlak tersebutlah seseorang mampu melakukan hal baik atau sebaliknya, tanpa melalui proses pertimbangan akal dan emosi. 


Jadi, apa yang biasa diingat atau dilakukan itulah yang spontan akan muncul. Dan perilaku spontan tersebut akan muncul dalam keseharian, lalu ketika menjadi kebiasaan maka dia akan membentuk kepribadian. 


Menyambung fenomena gelar ustaz yang sekarang mencuat kepermukaan. Dimana gelar ustaz dahulu murni berasal dari pengakuan masyarakat  yang disematkan bukan karena ilmu agamanya saja tetapi juga teladan akhlaknya. Dan pada saat zaman instan ini sering kali medialah yang berperan aktif dalam memberikan gelar tersebut.


Ya, dikarenakan industrialisasi dakwah bahkan dunia dakwah pun terseret kepada proses yang instan. Tidak mempersalahkan tetapi hanya mengingatkan media harus lebih berhati-hati dalam menyematkan gelar tersebut, dan sebaliknya seseorang  yang telah diberi amanah gelar tersebut mesti lebih ekstra berhati-hati.


Namun, jika kemudian ada usulan untuk mensertifikasi gelar ustaz, sebagaimana dahulu ada usulan mensertifikasi gelar haji. Bisakah kita mensertifikasi akhlak? Memang standarisasi mesti ada, tapi ada  rasa khawatir. Jangan-jangan akan muncul paket-paket kilat kursus akhlak bersertifikat. 


Karena tidak ada yang lebih baik dari ustaz dengan jamaahnya, tidak lebih baik guru dengan muridnya, tidak juga pimpinan dan anak buahnya, direktur dan karyawannya, profesor dan mahasiswanya, presiden dan rakyatnya. Karena yang lebih baik disisi Allah adalah yang  mengamalkan perintah Allah SWT (surah al-Mulk: 2). Semoga kita termasuk orang-orang yang  mengamalkan perintah Allah. Amin.


Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.


Celoteh Kang Erick Yusuf - Republika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar